Latar Belakang
Lahan merupakan bagian dari bentang lahan (Lanscape) yang meliputi lingkungan fisik termasuk iklim, topografi / relief, hidrologi tanah dan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap penggunaan lahan. Penggunaan lahan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Solo seperti pada umumnya di DAS yang lain secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi: hutan, tegalan, perkebunan, sawah, pemukiman dan penggunaan lain. Penetapan penggunaan lahan pada umumnya didasarkan pada karakteristik lahan dan daya dukung lingkungannya. Bentuk penggunaan lahan yang ada dapat dikaji kembali melalui proses evaluasi sumberdaya lahan, sehingga
dapat diketahui potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaannya. Untuk lebih memperluas pola pengelolaan sumberdaya lahan diperlukan tehnologi usaha tani yang tidak terlalu terikat dengan pola penggunaan lahan dan akan lebih parah lagi hasilnya apabila pembangunan pertanian masih melalui pendekatan sektoral tanpa ada integrasi dalam perencanaan maupun implementasinya.
Agroforestry adalah pola usaha tani produktif yang tidak saja mengetengahkan kaidah konservasi tetapi juga kaidah ekonomi. Betapa pentingnya masalah konservasi ini perlu diperhatikan apabila mengingat bahwa usaha tani di Indonesia ini ditangani oleh petani kecil apabila ditinjau dari kepemilikan lahan. Pemilikan lahan di DAS Solo seperti halnya di DAS lain rata-rata adalah kecil dan kemungkinan besar akan selalu berkurang dengan selalu bergulirnya waktu. Kesadaran akan perlunya konservasi lahan sebenarnya sudah sejak lama, akan tetapi selalu saja ada kesenjangan antara keinginan para petani pemilik lahan dengan para ahli konservasi tanah karena biasanya adanya keterbatasan biaya dari para petani untuk melaksanakan perlakuan-perlakuan yang diperlukan. Hal ini disebabkan karena pada pendekatan lama konsentrasi kegiatan konservasi ada pada pembuatan bangunan bangunan teras, saluran-saluran dan bangunan lainnya dan sering dilakukan dengan cara melarang orang bertanam di lahan miring, dll.
Dewasa ini Young (1997) dalam Sabarnurdin (2002) menyatakan bahwa ada pendekatan baru konservasi tanah yang disebut land husbandry yang diwujudkan dalam usaha tani dengan pendekatan konservasi. Ciri dari pendekatan ini adalah:
1. Memfokuskan pada hilangnya tanah dan pengaruhnya terhadap hasil tanaman sehingga perhatian utamanya bukan lagi pada bangunan fisik tetapi kepada metode biologis untuk konservasi seperti halnya penanaman penutup lahan.
2. Memadukan tindakan konservasi tanah dan konservasi air sehingga masyarakat mendapat keuntungan langsung dari usaha tersebut.
3. Melarang bertani dilereng bukan penyelesaian masalah. Tindakan seperti ini tidak bisa diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari adalah metode bertani yang bisa mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam.
4. Konservasi lahan akan berhasil bila ada partisipasi dari masyarakat terutama para petani. Motivasi masyarakat akan timbul bila mereka melihat keuntungan yang akan diperoleh.
5. Yang terpenting lagi adalah perlu adanya pemahaman bahwa kegiatan konservasi lahan adalah bagian integral dari usaha perbaikan sistem usaha tani.
1. Memfokuskan pada hilangnya tanah dan pengaruhnya terhadap hasil tanaman sehingga perhatian utamanya bukan lagi pada bangunan fisik tetapi kepada metode biologis untuk konservasi seperti halnya penanaman penutup lahan.
2. Memadukan tindakan konservasi tanah dan konservasi air sehingga masyarakat mendapat keuntungan langsung dari usaha tersebut.
3. Melarang bertani dilereng bukan penyelesaian masalah. Tindakan seperti ini tidak bisa diterima secara sosial dan politis. Yang harus dicari adalah metode bertani yang bisa mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan alam.
4. Konservasi lahan akan berhasil bila ada partisipasi dari masyarakat terutama para petani. Motivasi masyarakat akan timbul bila mereka melihat keuntungan yang akan diperoleh.
5. Yang terpenting lagi adalah perlu adanya pemahaman bahwa kegiatan konservasi lahan adalah bagian integral dari usaha perbaikan sistem usaha tani.
Agroforestry sebagai sistem penggunaan lahan makin diterima oleh masyarakat karena terbukti menguntungkan bagi pembangunan sosial ekonomi, sebagai ajang pemberdayaan masyarakat petani dan pelestarian sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan daerah pedesaan. Pola ini dirasa sangat cocok dikembangkan di DAS Solo Hulu yang banyak kawasan bertopografi miring, sehingga banyak erosi, pemilikan lahan sempit dengan kepadatan agraris tinggi ± 6 orang / Ha (CDMP, 2001).
Permasalahan
Perilaku DAS mencakup sifat-sifat morfometri dan hidrologis. Morfometri DAS sangat ditentukan oleh kondisi fisiografi (topografi dan bantuan) dan iklim terutama hujan. Sifat morfometri antara antara lain pola alur sungai, bentuk DAS, elevasi dan kemiringan DAS. Di Sub DAS Bengawan Solo Hulu terdapat Waduk Gadjah Mungkur dengan daerah tangkapan seluas 1350 Km2 dengan 7 buah sungai utama didalamnya. Daerah tangkapan (DTA) Waduk Gadjah Mungkur terdiri dari beberapa satuan fisiografi yaitu satuan Gunung Lawu, Pegunungan Batur Agung, Pegunungan Selatan Berbatu Vulkanis serta Pegunungan Selatan Berbatu Gamping.
1. Di DTA Waduk Gadjah Mungkur telah terjadi erosi cukup berat yang ditanda adanya permunculan batuan induk, erosi parit dan sedimentasi. Dari 102 Sub DAS di DAS Solo yang meliputi 23 wilayah kabupaten, ada 28 Sub DAS yang memiliki potensi erosi besar. Erosi aktual yang terjadi terkecil adalah 4,72 ton/Ha/th di Sub DAS Precel dan erosi terbesar terjadi di Sub DAS Dengkeng sebesar 195,84 ton/Ha/th (Anonimus, 2002).
2. Daerah tangkapan air antara Gunung Merapi dan Lawu lahannya sangat subur sehingga menyebabkan perkembangan pemukiman dan industri di wilayah ini sangat pesat. Dampak yang terjadi adalah limbah rumah tangga dan limbah pabrik akan mencemari air tanah, koefisien aliran akan meningkat sehingga erosi pun secara potensial meningkat pula.
3. Anak sungai Bengawan Solo di daerah Sragen, Ngawi, di bagian utara berasal dari daerah Pegunungan Kendeng bertipe intermitten (mengalir pada waktu musim hujan) karena daerah tangkapan air tidak terlalu luas tingkat kelulusan batuan rendah (napal), serta curah hujan ± 2000 mm/th dengan bulan kering 5-6 bulan dengan koefisiensi aliran tinggi dan langka air tanah.
4. Bengawan Madiun mengalir dari daerah Kabupaten Ponorogo, Madiun dan Magetan. Dibagian hulu di daerah kabupaten Ponorogo kondisi lahan sangat kritis ditandai adanya erosi parit, longsor lahan dan munculnya batuan induk (Anonimus, 2002).
5. Daerah Bengawan Solo Hilir secara fisiografi berupa Pegunungan Rembang di sebelah utara sungai, Pegunungan Kendeng di sebelah selatan sungai dan dataran aluvial. Daerah ini sering menghadapi masalah banjir dan sering terjadi intrusi air laut terutama pada musim kemarau. Permasalahan - permasalahan di atas sangat erat kaitannya dengan pengelolaan lahan. Sudah barang tentu memerlukan suatu tehnologi sederhana yang mungkin dapat diterapkan oleh para petani secara langsung misal pola agroforestry seperti telah diterangkan di halaman terdahulu.
Metode Pengembangan Fungsi Pengelolaan Lahan
1. Tehnik Pengelolaan Lahan yang Produktif dan Konservatif Melalui Agroforestry
Berubahnya Lanskap akibat adanya tekanan penduduk dan intensifikasi pemanfaatan sumberdaya lahan, mengarah pada pengakuan terhadap agroforestry sebagai alternatif sistem pengelolaan lahan dalam rangka pembangunan berkelanjutan baik didataran tinggi maupun di dataran rendah (Sabarnurdin, 2002). Berbeda dengan bidang pertanian maupun kehutanan murni, kontribusi agroforestry dalam bidang sosial ekonomi bisa lebih bervariasi karena komponen usahanya lebih beragam. Tambahan lagi selain membuka kemungkinan untuk meningkatkan efisiensi ekonomi dan peningkatan taraf hidup mampu juga menimbulkan multiplier effect dan agroforestry juga memperbaiki serta meningkatkan kondisi lingkungan (Anonimus, 2000). Kelemahan para petani pada umumnya adalah pada sistem pemasaran hasil. Dengan menawarkan kombinasi hasil, produktivitas lebih lestari. Adanya komponen pohon yang bisa diatur pemungutan hasilnya hanya apabila diperlukan, karena apabila tidak diperlukan bisa dibiarkan hidup dengan tidak kawatir rusak dan bahkan nilainya akan bertambah. Kelestarian hasil lebih diperjelas dengan tambahan adanya produksi bidang peternakan, sedang konsumsi harian dapat ditopang oleh produk tanaman pertanian. Produk agroforestry bisa lebih ditingkatkan menjadi produk yang diorientasikan pada agribisnis dengan dukungan dari swasta atau pemerintah daerah misalkan menyediakan pabrik pengolahan hasil misal pabrik pengelolaan nanas atau komoditas lainnya dalam skala kecil menengah. Peluang bagi digunakannya sistem agroforestry dalam pengelolaan lahan juga disebabkan karena (Sabarnurdin, 2002) :
1. Agroforestry adalah metode biologis untuk konservasi dan pemeliharaan penutup tanah sekaligus memberikan kesempatan menghubungkan konservasi tanah dengan konservasi air.
2. Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi.
3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.
2. Hutan Sebagai Pengendali Daur Air dan Longsor Lahan Pada masa-masa tertentu terutama pada awal musim hujan atau pada akhir musim hujan kita sering mendengar dan membaca berita tentang banjir dan longsor lahan di beberapa daerah. Kejadian ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan kita semua. Kejadian demi kejadian akhir-akhir ini terus susul menyusul dimulai dari Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Menado. Peristiwa banjir dan longsor lahan telah menelan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit sehingga muncul pertanyaan mengapa terjadi demikian dan bagaimana cara mengantisipasinya sehingga peristiwa alam tersebut dapat dihindari atau dikurangi dampak negatifnya. DAS Solo seperti halnya Indonesia pada umumnya sebagai suatu daerah yang beriklim tropis. Di beberapa tempat mempunyai kecenderungan berintensitas hujan tinggi, di beberapa tempat memiliki bentuk lahan yang bergelombang, berbukit maupun bergunung dengan kondisi yang punya potensi longsor lahan yang cukup besar.
Disamping itu persebaran penduduk sering tidak memperhatikan tata ruang wilayah atau tata ruang desa, maka untuk menghindari adanya korban, perlu dilakukan usaha-usaha agar masyarakat terhindar dari malapetaka pada kesempatan lain. Usaha itu bisa dalam bentuk perlu disusunnya kembali tata ruang desa atau dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana cara mendeteksi, antisipasi dan mengatasi peristiwa yang sangat memilukan tersebut. Disamping itu juga bisa dengan memperbaiki pola pengelolaan lahannya yang lebih ramah lingkungan sehingga banjir, kekeringan dan longsor lahan tidak terjadi. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah atau bahkan bersahabat (memiliki tingkat adaptasi yang tinggi) dengan banjir dan longsor lahan dalam lingkungan ekologi yang menyejukkan. Pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan bagai ke dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan.
2. Dengan agroforestry yang produktif dapat digunakan untuk memelihara dan meningkatkan produksi bersamaan dengan tindakan pencegahan erosi.
3. Kegiatan konservasi yang produktif memperbesar kemungkinan diterimanya konservasi oleh masyarakat sebagai kemauan mereka sendiri. Digunakannya tehnik diagnostik dan designing untuk merumuskan pola tanam secara partisipatif merupakan kelebihan dari tehnik agroforestry.
2. Hutan Sebagai Pengendali Daur Air dan Longsor Lahan Pada masa-masa tertentu terutama pada awal musim hujan atau pada akhir musim hujan kita sering mendengar dan membaca berita tentang banjir dan longsor lahan di beberapa daerah. Kejadian ini sudah barang tentu menimbulkan keprihatinan kita semua. Kejadian demi kejadian akhir-akhir ini terus susul menyusul dimulai dari Cilacap, Purworejo, Kulonprogo, Aceh, Sumatra Barat, Jawa Barat dan Menado. Peristiwa banjir dan longsor lahan telah menelan korban jiwa dan harta benda tidak sedikit sehingga muncul pertanyaan mengapa terjadi demikian dan bagaimana cara mengantisipasinya sehingga peristiwa alam tersebut dapat dihindari atau dikurangi dampak negatifnya. DAS Solo seperti halnya Indonesia pada umumnya sebagai suatu daerah yang beriklim tropis. Di beberapa tempat mempunyai kecenderungan berintensitas hujan tinggi, di beberapa tempat memiliki bentuk lahan yang bergelombang, berbukit maupun bergunung dengan kondisi yang punya potensi longsor lahan yang cukup besar.
Disamping itu persebaran penduduk sering tidak memperhatikan tata ruang wilayah atau tata ruang desa, maka untuk menghindari adanya korban, perlu dilakukan usaha-usaha agar masyarakat terhindar dari malapetaka pada kesempatan lain. Usaha itu bisa dalam bentuk perlu disusunnya kembali tata ruang desa atau dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat bagaimana cara mendeteksi, antisipasi dan mengatasi peristiwa yang sangat memilukan tersebut. Disamping itu juga bisa dengan memperbaiki pola pengelolaan lahannya yang lebih ramah lingkungan sehingga banjir, kekeringan dan longsor lahan tidak terjadi. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka mencegah atau bahkan bersahabat (memiliki tingkat adaptasi yang tinggi) dengan banjir dan longsor lahan dalam lingkungan ekologi yang menyejukkan. Pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan merupakan suatu kegiatan yang tak terpisahkan bagai ke dua sisi mata uang yang merupakan satu kesatuan.
Akhir-akhir ini masyarakat semakin banyak menopangkan harapan pada hutan untuk mengatasi masalah pengendalian daur air, erosi dan longsor lahan. Harapan yang sangat perlu didukung bersama untuk dapat mewujudkannya karena banyak kelebihan ekosistem hutan untuk dapat mewujudkan harapan tersebut. Akan tetapi perlu disadari bersama bahwa nilai perannya terhadap ketiga hal tersebut diatas sangat ditentukan oleh luas, jenis, watak petumbuhan, keadaan pertumbuhan dan struktur hutannya. Disamping itu untuk suatu keadaan ekosistem hutan tertentu peran tersebut dibatasi oleh keadaan iklim, geologi, watak tanah dan geomorfologi. Sebagai contoh untuk kawasan yang secara geologis rawan longsor lahan, bagi daerah yang mempunyai intensitas hujan yang tinggi dan lereng yang terjal, justru dengan penutupan hutan terlalu rapat dan pohonnya besar-besar, malahan akan menyebabkan terjadinya longsor lahan. Kenyataan ini menyadarkan kita semua bahwa kita perlu mengenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya erosi, daur air dan longsor lahan.
Dalam usaha untuk mengatasi masalah-masalah tersebut maka didalam membangun hutan maupun agroforestry perlu memperhatikan faktor tanah, iklim, tanaman, geologi dan geomorfologi serta masalah kependudukan untuk mengenali watak run off potensial, stabilitas lahan dan tak kalah pentingnya adalah pengenalan atas watak tanaman diantaranya yang berupa evapotranspirasi, dekomposisi seresah, pertumbuhan dan beban mekanik tanaman, seperti yang dapat diperiksa pada Gambar di bawah ini.
Berbagai gejala yang tumbuh dan berkembang di masyarakat pada umumnya, dapatlah diindikasikan bahwa masyarakat kita saat ini sedang mulai mengalami perubahan yang kemungkinan akan menampakkan tuntutan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Disamping itu pertumbuhan dan mobilitas penduduk yang cepat akan berpacu dengan ketidak seimbangan antara ketersediaan sumberdaya alam yang murah dengan meningkatnya kebutuhan. Disamping itu tingginya jumlah penduduk yang juga diikuti oleh tingginya laju pertambahan penduduk akan menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk produksi dan pemukiman maupun meningkatnya kebutuhan akan sumberdaya air yang sangat penting bagi kehidupan. Akibat banyaknya lahan yang beralih fungsi yang tadinya merupakan kawasan resapan menjadi kawasan pertanian dan pemukiman akan menyebabkan terganggunya daur air kawasan. Tidak kalah memprihatinkan sangat maraknya penjarahan hutan yang mengakibatkan banyaknya penebangan hutan yang tidak terencana mengakibatkan peran hutan sebagai pengendali daur air kawasan menjadi terganggu. Air dipandang sebagai sumberdaya memiliki multidimensi yaitu ketersediaan dalam waktu (musim kemarau atau musim hujan), dalam ruang (digunung sampai di pantai), dalam kualitas dan kuantitas baku mutu yang sesuai kebutuhan atau peruntukannya (Tedjoyuwono N, 1994 dan Soedjarwadi, 1994). Secara alami daur air di suatu kawasan ditentukan oleh ciri-ciri khas lingkungan geofisik.
Berbagai negara Eropa dan Amerika Utara angka itu telah berkisar antara 300 – 600 l/hari/kapita dan dalam waktu tidak lama akan naik menjadi 500 – 1000 l/hari/kapita. (Hehanusa PE, 1999), sedang secara tidak langsung sesungguhnya manusia membutuhkan air jauh lebih besar yaitu 2600 l/hari/kapita karena untuk menghasilkan 1 kg beras diperlukan 4160 l air, 1 kg gula diperlukan 1040 l air dan 1 kg daging dibutuhkan 20.860 l air (FAO, 1996 dalam Hidayat Pawitaan, 1999). Di samping itu
dengan dipacunya pertumbuhan ekonomi, permintaan akan sumberdaya air baik kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat pula dan di tempat-tempat tertentu melebihi ketersediaannya. Hal ini menyebabkan sumberdaya air dapat menjadi barang yang langka. Kerisauan ini lebih ditegaskan oleh pakar dunia dalam rangkaian pertemuannya mulai dari pertemuan di Roma, Stockholm, Dublin, Rio de Janeiro dan terakhir di Paris pada bulan Juni 1998 dalam “International Coonference on World Water in the 21 th Century” disimpulkan bahwa ancaman akan adanya krisis air di awal abad 21 bukanlah suatu khayalan (Hehanusa PE, 1999). Ironisnya kelangkaan sumberdaya air tersebut tidak dicerminkan oleh penghargaan orang atas sumberdaya air tersebut. Dari fakta yang ada tampak bahwa sumberdaya air masih belum mendapat perlindungan secara maksimal untuk mempertahankan neraca air kawasan yang optimal. Terjadinya pencemaran dibanyak tempat dan terjadinya penggundulan hutan di sana-sini menunjukkan bahwa perhatian terhadap kelestarian sumberdaya air perlu secara total ditingkatkan (KMNLH, 1997).
Saat ini masih nampak lemahnya posisi tawar-menawar kawasan hutan terhadapmperubahan fungsi lain yang lebih menguntungkan selain sebagai produsen kayu. Hal ini dapat ditelusuri sebagai akibat dari lemahnya sistem akunting sumberdaya hutan (Dodi Supriadi, 1998). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai asset pada dasarnya merupakan faktor produksi yang mengalami penurunan akibat kegiatan eksploitasi. Dari sisi akunting penurunan asset atau faktor produksi seharusnya menjadi beban biaya (depresiasi) yang dimasukkan sebagai salah satu komponen cost analisis dalam pengelolaan sumberdaya hutan, namun sampai saat ini depresiasi sumberdaya hutan sebagai faktor produksi tidak pernah diperhitungkan, sehingga keuntungan yang diperoleh selama ini merupakan keuntungan semu. Lebih menarik lagi setelah mencermati hasil penelitian yang dilakukan oleh Dodi Supriadi (1998) disimpulkan bahwa nilai intangible hutan lindung yang utamanya sebagai penyedia air mempunyai nilai ekonomi enam kali lebih besar dari nilai kayu, bahkan total nilai manfaat intangible hutan (plus rekreasi, wildlife dan kualitas lingkungan) akan semakin lebih besar lagi. Saat ini banyak peneliti telah melakukan berbagai penelitian untuk menghubungkan perlakuan-perlakuan hutan terhadap perilaku hidrologi. Hal yang sudah diterima secara umum adalah bahwa penggunaan vegetasi penutup hutan akan dapat memperbaiki fluktuasi aliran air (Seyhan, 1990). Menghadapi berbagai kenyataan di atas maka perhatian orang mulai memandang hutan sebagai suatu sistem penyangga kehidupan dan tidak hanya sebagai produsen kayu. Hutan dengan penyebarannya yang luas, dengan struktur dan komposisinya yang beragam mampu menyediakan manfaat yang amat besar bagi kehidupan manusia antara lain jasa perlindungan terhadap banjir, erosi, sedimentasi dan longsor lahan. Peran hutan terhadap pengendalian daur air dimulai dari peran tajuk menyimpan air intersepsi. Di hutan klimaks intersepsi bisa mencapai angka 25 – 35 % dari hujan tahunan yang jatuh dan di hutan Pinus bisa mencapai 16-20 % dari hujan tahunan yang jatuh (Sri Astuti et-al, 1998).
a. Genesis morfologi lereng (perubahan kemiringan dari landai ke curam)
b. Geologi (jenis batuan, sifat batuan, stratigrafi dan tingkat pelapukan)
· Jenis batuan/tanah
- Tanah tebal dengan tingkat pelapukan sudah lanjut
- Kembang kerut tanah tinggi : lempung
· Sedimen berlapis (tanah permeabel menumpang pada tanah impermeabel)
· Perlapisan tanah/batuan searah dengan kemiringan lereng.
c. Tektonik dan Kegempaan
· Sering mengalami gangguan gempa
· Mekanisme tektonik penurunan lahan
2. Faktor luar (eksternal)
a. Morfologi atau Bentuk Geometri Lereng· Erosi lateral dan erosi mundur (backward erosion) yang intensif menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kaki lereng, akibatnya lereng makin curam. Makin curam suatu kemiringan lereng, makin kecil nilai kestabilannya.
· Patahan yang mengarah keluar lereng
b. Hujan
· Akibat hujan terjadi peningkatan kadar air tanah, akibatnya menurunkan
ketahanan batuan.
· Kadar air tanah yang tinggi juga menambah beban mekanik tanah.
· Sesuai dengan letak dan bentuk bidang gelincir, hujan yang tinggi
menyebabkan terbentuknya bahan gelincir.c. Kegiatan Manusia
· Mengganggu kestabilan lereng misal dengan memotong lereng.
· Melakukan pembangunan tidak mengindahkan tata ruang wilayah/tata ruang
desa.
· Mengganggu vegetasi penutup lahan sehingga aliran permukaan melimpah misal dengan over cutting, penjarahan atau penebangan tak terkendali, hal ini akan menyebabkan erosi mundur maupun erosi lateral.
· Menambah beban mekanik dari luar misal penghijauan atau hasil reboisasi yang sudah terlalu rapat dan pohonnya sudah besar-besar di kawasan rawan longsor lahan dan tidak dipanen karena merasa sayang. Untuk ini maka sangat diperlukan pengaturan hasil yang baik bagi hutan rakyat, progra penghijauan yang lain maupun program reboisasi baik yang berupa pemanenan maupun penjarangan yang teratur. Untuk dapat memberikan perhatian atau perlakuan khusus pada kawasan rawan longsor lahan tersebut perlu dilakukan zonasi kawasan dengan memperhatikan karakteristik kawasan rawan longsor lahan. Karakteristik kawasan rawan longsor antara lain :
a. Kawasan yang mempunyai kelerengan ³ 20 %
b. Tanah pelapukan tebal
c. Sedimen berlapis : Lapisan permeabel menumpang pada lapisan impermeabel
d. Tingkat kebasahan tinggi (curah hujan tinggi)
e. Erosi lateral intensif sehingga menyebabkan terjadinya penggerusan di bagian kakilereng, akibatnya lereng makin curam.
f. Mekanisme tektonik penurunan lahan
g. Patahan yang mengarah keluar lereng
h. Dip Perlapisan sama dengan Dip Lereng
i. Makin curam lereng, makin ringan nilai kestabilannya.