NEWS UPDATE :
Tampilkan postingan dengan label Upacara Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Upacara Adat. Tampilkan semua postingan

UPACARA ADAT AMMATEANG SULAWESI SELATAN

Keanekaragaman budaya yang ada di Indonesia harus dipandang sebagai sebuah kekayaan bukan kemiskinan. Bahwa Indonesia tidak memiliki identitas adat dan  budaya yang tunggal bukan berarti tidak memiliki jati diri, namun dengan keanekaragaman adat dan budaya yang ada membuktikan bahwa masyarakat kita memiliki kualitas produksi adat dan budaya yang luar biasa, jika mengacu pada pengertian bahwa kebudayaan adalah hasil cipta manusia. Dengan demikian adat dan Budaya amupun tradisi akan selalu mengalami dinamis dan mendapatkan akulturasi dari berbagai aspek seperti ajaran islam.
Pembahasan di sini menggali sebuah adat suku bugis di pulau bagian timur tepatnya di sulawesi selatan. Adat tersebut di kenal dengan nama Upacara Adat Ammateang yang mengalami akulturasi dengan islam yang sejalan dengan perkembangan zaman. Adat Upacara Adat Ammateang bugis bone di makalah ini akan di ulas lebih mendalam pada daerah kabupaten Bone sulawesi selatan.

Pembahasan


Para keluarga berkumpul
Ammateang atau Upacara Adat Kematian yang dalam adat Bugis merupakan upacara yang dilaksanakan masyarakat Bugis saat seseorang dalam suatu kampung meninggal dunia.Keluarga, kerabat dekat maupun kerabat jauh, juga masyarakat sekitar lingkungan rumah orang yang meninggal itu berbondong-bondong menjenguknya. Pelayat yang hadir biasanya membawasidekka (sumbangan kepada keluarga yang ditinggalkan) berupa barang seperti sarung atau kebutuhan untuk mengurus mayat, selain itu ada juga yang membawa passolo (amplop berisi uang sebagai tanda turut berduka cita). Mayat belum mulai diurus seperti dimandikan dan seterusnya sebelum semua anggota terdekatnya hadir. Barulah setelah semua keluarga terdekatnya hadir, mayat mulai dimandikan, yang umumnya dilakukan oleh orang-orang tertentu yang memang biasa memandikan mayat atau oleh anggota keluarganya sendiri.Hal ini masih sesuai ajaran islam dalam tata cara mengurus jenazah dalam hal memandikanya sampai mengshalatkanya.
      Ada beberapa hal yang perlu dilakukan ketika memandikan mayat, yaitu mabbolo(menyiramkan air ke tubuh mayat diiringi pembacaan do’a dan tahlil), maggoso’ (menggosok bagian-bagian tubuh mayat), mangojo (membersihkan anus dan kemaluan mayat yang biasa dilakukan oleh salah seorang anggota keluarga seperti anak,adik atau oleh orang tuanya) danmappajjenne’ (menyiramkan air mandi terakhir sekaligus mewudhukan mayat). Orang -orang yang bertugas tersebut diberikan pappasidekka (sedekah) berupa pakaian si mayat ketika hidupnya lengkap dengan sarung, baju, celana, dan lain sebagainya. Ini menjadi hal unik di mana orang yang memandi mayat akan mendapat imbalan dari kelurga duka berupa barang orang yang meniggal.
      Mayat yang telah selesai dimandikan kemudian dikafani dengan kain kaci (kain kafan) oleh keluarga terdekatnya.Setelah itu imam dan beberapa pengikutnya menyembahyangkan mayat menurut aturan ajaran Islam. Sementara diluar rumah, anggota keluarganya membuat ulereng(usungan mayat) atau keranda. Dalam tradisi bugis di kampung saya keranda hanya sekali pakai atau tidak di simpan lagi.ulereng/keranda ini untuk golongan tau samara (orang kebanyakan) pada kalangan umum sedangkan ada istilah Walasuji (untuk golongan bangsawan) yang terbentuk 3 susun. Walasuji atau baruga bermotif segi empat belah ketupat ini sudah tidak asing lagi dalam khasanah peradaban masyarakat Bugis.
     
 Walasuji/baruga  


Kuburan bangswan yang memakai atap walasuji atau baruga
Bersamaan dengan pembuatan ulereng/keranda bagian bawah,dibuat pula cekko-cekko, yaitu semacam tudungan yang berbentuk lengkungan panjang sepanjang liang lahat yang akan diletakan diatas timbunan liang lahat apabila jenazahnya telah dikuburkan. Dan apabila, semua tata cara keislaman telah selesai dilakukan dari mulai memandikan, mengafani, dan menyembahyangkan mayat, maka jenazah pun diusung oleh beberapa orang keluar rumah lalu diletakan diatas ulereng.
     

            Mengiringi jenazah yang diantar ke pemakaman
             Tata cara membawa usungan atau ulureng ini terbilang unik dimana dilihat dari tata caranya yang masih di lestarikan masyarakat bugis dahuluUlereng/beranda bagian bawahdiangkat keatas kemudian diturunkan lagi sambil melangkah ke depan, ini diulangi hingga 3 kali berturut-turut, barulah kemudian dilanjutkan dengan perlahan menuju ke pekuburan diikuti rombongan pengantar dan pelayat mayat. Iring-iringan pengantar jenazah bisa berganti-gantian mengusung ulereng. Semua orang-orang yang berpapasan dengan iringan pengantar jenazah harus berhenti, sedangkan orang-orang yang berjalan/berkendara dari belakang tidak boleh mendahului rombongan pengantar jenazah hingga sampai di areal pekuburan. Di pekuburan, sudah menanti beberapa orang yang akan bekerja membantu penguburan jenazah. Sesampai di kuburan, mayat segera diturunkan kedalam liang lahat. Imam atau tokoh masyarakat kemudian meletakkan segenggam tanah yang telah dibacakan doa atau mantera-mantera ke wajah jenazah sebagai tandasiame’ (penyatuan) antara tanah dengan mayat.setelah itu, mayat mulai ditimbuni tanah sampai selesai. Lalu Imam membacakan talkin dan tahlil dengan maksud agar si mayat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat penjaga kubur dengan lancar. Diatas pusara diletakan buah kelapa yang telah dibelah dua dan tetap ditinggalkan diatas kuburan itu. Diletakan pula payung dancekko-cekko’. Hal ini juga masih merupakan warisan kepercayaan lama orang Bugis, bahwa meskipun seseorang telah meninggal dunia, akan tetapi arwahnya masih tetap berkeliaran. Karena itu, kelapa dan airnya yang diletakan diatas kuburan dimaksudkan sebagai minuman bagi arwah orang yang telah meninggal, sedangkan payung selain untuk melindungi rohnya, juga merupakan simbol keturunan.
      Sekarang ini, ada kebiasaan baru setelah jenazah dikuburkan, yaitu imam atau ustadz dipesankan oleh keluarga orang yang sudah meninggal itu agar melanjutkan dengan ceramah dikuburan sebelum rombongan/pelayat pulang dari kuburan. Ceramah atau pesan-pesan agama yang umumnya disampaikan sekaitan dengan kematian dan persiapan menghadapi kematian, bahwa kematian itu pasti akan menemui/dihadapi setiap orang didunia ini dan karenanya, supaya mendapatkan keselamatan dari siksa alam kubur serta mendapatkan kebahagian didunia maupun di akherat, maka seseorang harus mengisi hari-hari kehidupannya dengan berbuat baik dan amal kebajikan sebanyak mungkin. Sebelum rombongan pengiring mayat pulang,biasanya pihak keluarga terdekat menyampaikan ucapan terima kasih sekaligus penyampaian undangan takziah. Semalaman, di rumah duka diadakan tahlilan dan khatam Al-Quran, yaitu membaca al-Quran secara bergantian. Dari sini mulainya bilampenni, yaitu upacara selamatan sekaligus penghitungan hari kematian yang dihitung mulai dari hari penguburan jenazah.Biasa dalakukan selamatan tujuh hari atau empat puluh harinya. Sekarang ini, upacara bilampenni sudah bergeser namanya menjadi tiga malam saja. Bilampenni yang di laksanakan dalam tiga malam itu lebih sering di pakai masyarakat bugis dan di dalam tiga malam itu,Keluarga yang berduka setiap tiga malam selalu menyediakan makan berupa nasi dan lauk-pauk pada sore hari yang di wadahi dalam baki atau wadah besar/nampan besar yang di simpan dekat posi bola atau pusat tiang rumah. Makan yang ada dalam baki itu biasanya dimakan oleh keluarga sendiri seperti anaknya,cucu-cucunya. Sebagai penutup dalam bilampenni  yaitu, pada esok harinya dilakukan dzikir barzanji dan dilanjutkan santap siang bersama kerabat-kerabat yang di undang.
 Dalam adat bugis, apabila salah seseorang meninggal dunia maka beberapa hari kemudian, biasanya pada hari ketiga, ketujuh, keempat puluh, hari keseratus atau kapanpun keluarga jenazah mampu dilaksanakan satu upacara adat yang disebut mattampung, dalam upacara adat ini dilakukan penyembelian sapi.
      Dalam rangkaian acara upacara Ammateang suku bugis sudah banyak peranan ajaran islam dalam upacara tersebut dan tidak bisa juga di pungkiri dalam acara tersebut adat dan budaya orang dahulu masih terlestari. Dalam perkembangan zaman adat dan budaya yang terlestari itu akan mengalami pergesekan yang sesuai kebutuhan pada zamannya.

Makam Syekh Yusuf

UPACARA KASADA GUNUNG BROMO Di JAWA TIMUR

Bromo mempunyai pesona alam yang sangat luar biasa, tidak akan pernah habis kekaguman kita oleh pemandangan alam yang indah. Gunung Bromo berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti Brahma atau seorang dewa yang utama, gunung bromo ini merupakan gunung yang masih aktif dan objek pariwisata yang sangat terkenal diwilayah jawa Timur. Gunung bromo mempunyai ketinggian 2.400 meter di atas permukaan laut.
Padang Savana di alam pegunungan yang sangat sejuk, kita dapat melihat rerumputan kering dan padang pasir yang sangat luas. Yang sangat menarik dan indah pada saat matahari terbit yang kita lihat dari Puncak Gunung di Pananjakan, karena kabut yang menyelimuti bawah gunung bromo membuat panorama indah dan mistik. Untuk mencapai gunung pananjakan kita dapat menyewa mobil hardtop yang banyak terdapat di penginapan. Atau jika anda ingin menikmati pemandangan secara alami dan sehat anda dapat melewati jalan setapak menuju jalan penanjakan. Tetapi sangat disarankan anda menyewa guide yang sudah sangat terbiasa akan jalan dan medan di Bromo.
Selain itu juga Suku Tengger memiliki daya tarik yang luar biasa karena mereka sangat berpegang teguh pada adat istiadat dan budaya yang menjadi pedoman hidupnya. Pada tahun 1990 suku tengger tercatat berjumlah 50 ribu yang tinggal dilereng gunung Semeru dan disekitar kaldera. Mereka sangat dihormati oleh penduduk sekitar karena mereka sangat memegang teguh budaya mereka dengan hidup jujur dan tidak iri hati. Konon Suku tengger adalah keturunan Roro Anteng(putri Raja Majapahit) dan Joko Seger (putera brahmana). Bahasa daerah yang mereka gunakan sehari hari adalah bahasa jawa kuno. Mereka tidak memiliki kasta bahasa, sangat berbeda dengan Bahasa jawa yang dipakai umumnya karena mempunyai tingkatan bahasa.
Sejak Jaman Majapahit konon wilayah yang mereka huni adalah tempat suci, karena mereka dianggap abdi – abdi kerajaan Majapahit. Sampai saat ini mereka masih menganut agama hindu. Setahun sekali masyarakat tengger mengadakan upacara yadnya Kasada. Upacara ini berlokasi disebuah pura yang berada dibawah kaki gunung bromo. Dan setelah itu dilanjutkan kepuncak gunung bromo. Upacara dilakukan pada tengah malam hingga dini hari setiap bulan purnama dibulan kasodo menurut penanggalan jawa.
Tempat untuk mengadakan upacara kasada adalah Pura Luhur Poten Gunung Bromo, tidak seperti pemeluk hindu pada umumnya yang memiliki candi candi sebagai tempat ibadah. Namun poten merupakan sebidang tanah dil ahan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara kasada.
Asal usul upacara Kasada terjadi beberapa abad yang lalu “Pada masa pemerintahan Dinasti Brawijaya dari kerajaan Majapahit, permaisuri dikaruniai anak perempuan yang bernama Roro Anteng. Setelah beranjak dewasa sang Putri jatuh cinta kepada seorang pemuda anak dari Kasta Brahmana yang bernama Joko Seger. Pada saat Kerajaan Majapahit mengalami kemerosotan dan semakin berkibarnya perkembangan Islam di P Jawa. Beberapa orang kepercayaan kerajaan dan sebagian keluarganya memutuskan pergi kewilayah timur. Dan sebagian besar ke kawasan pegunungan tengger, termasuk Roro Anteng dan Joko Seger. Setelah mereka menjadi penguasa diwilayah ini, mereka sangat sedih karena belum dikaruniai seorang anak. Berbagai macam cara mereka coba, sampai pada akhirnya mereka kepuncak Gunung Bromo untuk bersemedi. Akhirnya permintaan mereka dikabulkan dengan munculnya suara gaib, dengan syarat anak bungsu mereka setelah lahir harus dikorbankan kekawah gunung bromo. Setelah mereka dikaruniai 25 orang anak, tiba saatnya mereka harus mengorbankan si bungsu. Tetapi mereka tidak tega melakukannya, karena hati nurani orang tua yang tidak tega membunuh anaknya. Akhirnya sang dewa marah dan menjilat anak bungsu tersebut masuk kekawah gunung, timbul suara dari si bungsu agar orang tua mereka hidup tenang beserta saudara-saudaranya. Dan tiap tahun untuk melakukan sesaji yang dibuang ke gunung bromo. Sampai sekarang adat istiadat ini dilakukan secara turun menurun.
Untuk dapat melihat upacara kasada bromo lebih baik kita datang sebelum tengah malam, karena ramainya persiapan para dukun. Hari hari upacara kasada bromo, banyak penduduk sekitar yang berdatangan. Baik mengendarai sepeda motor atau kendaraan pribadi lainnya. Sehingga mengakibatkan jalanan kebawah menuju kaki gunung sangat macet. Dan bisa membuat Mobil dari gerbang tidak bisa turun kebawah. Jalan lain kebawah yaitu anda berjalan dengan rombongan rombongan penduduk yang menuju pura. Karena jika sendiri dipastikan akan tersesat, karena kabut yang sangat tebal dan pandangan sangat terganggu Kasada bromo juga dilakukan untuk mengangkat seorang Tabib atau dukun disetiap desa. Agar mereka dapat diangkat oleh para tetua adat, mereka harus bisa mengamalkan dan menghafal mantera mantera. Beberapa hari sebelum Upacara Kasada bromo dimulai, mereka mengerjakan sesaji sesaji yang nantinya akan dilemparkan ke Kawah Gunung Bromo. Pada malam ke 14 bulan Kasada Masyarakat tengger berbondong bondong dengan membawa ongkek yang berisi sesajo dari berbagai macam hasil pertanian dan ternak. Lalu mereka membawanya ke Pura dan sambil menunggu Dukun sepuh yang dihormati datang mereka kembali menghafal dan melafalkan mantera, tepat tengah malam diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan umat dipoten lautan pasir gunung bromo. Bagi masyarakat Tengger, peranan Dukun adalah sangat penting. Karena mereka bertugas memimpin acara – acara ritual, perkawinan dll. Sebelum lulus mereka diwajibkan lulus ujian dengan cara menghafal dan lancar dalam membaca mantra-mantra.
Setelah Upacara selesai, ongkek – ongkek yang berisi sesaji dibawa dari kaki gunung bromo ke atas kawah. Dan mereka melemparkan kedalam kawah, sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan oleh nenek moyang mereka. Didalam kawah banyak terdapat pengemis dan penduduk tengger yang tinggal dipedalaman, mereka jauh jauh hari datang ke gunung bromo dan mendirikan tempat tinggal dikawah gunung Bromo dengan harapan mereka mendapatkan sesaji yang dilempar. Penduduk yang melempar sesaji berbagai macam buah buahan dan hasil ternak, mereka menganggapnya sebagai kaul atau terima kasih mereka terhadap tuhan atas hasil ternak dan pertanian yang melimpah. Aktivitas penduduk tengger pedalaman yang berada dikawah gunung bromo dapat kita lihat dari malam sampai siang hari Kasada Bromo.
Pura Luhur Poten Gunung Bromo
Sebagai pemeluk agama Hindu Suku Tengger tidak seperti pemeluk agama Hindu pada umumnya, memiliki candi-candi sebagai tempat peribadatan, namun bila melakukan peribadatan bertempat di punden, danyang dan poten.
Poten merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara Kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu, poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalam suatu susunan komposisi di pekarangan yang dibagi menjadi tiga Mandala, yaitu :
MANDALA UTAMA
Disebut juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri dari:
Padmaberfungsi sebagai bentuknya serupa candi yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan. Fungsi utamanya tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa, Padma tidak memakai atap yang terdiri dari bagian kaki yang disebut tepas, badan/batur dan kepala yang disebut sari dilengkapi dengan Bedawang, Nala, Garuda dan Angsa.
Bedawang Nalamelukiskan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi padmasana.
Bangunan Sekepat (tiang empat) atau yang lebih besar letaknya di bagian sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan/padmasana, menghadap ke timur atau sesuai dengan orientasi bangunan pemujaan dan terbuka keempat sisinya. Fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktivitas serangkaian upacara. Bale Pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan pemujaan.
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar segi empat atau sisi banyak dengan sisi-sisi sekitar depa alit, depa madya atau depa agung. Tinggi bangunan dapat berkisar dari sebesar atau setinggi tugu sampai sekitar 100 meter memungkinkan pula dibuat lebih tinggi dengan memperhatikan keindahan proporsi candi bentar.
Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba pura menuju mandala sisi/nista atau jaba tengah/mandala utama bisa berupa candi gelung atau kori agung dengan berbagai variasi hiasan. Untuk pintu masuk pekarangan pura dari jaba tengah/Mandala Madya ke jeroan Mandala Madya sesuai keindahan proporsi bentuk fungsi dan besarnya atap bertingkat-tingkat tiga sampai sebelas sesuai fungsinya. Untuk pintu masuk yang letaknya pada tembok penyengker/pembatas pekarangan pura.
MANDALA MADYA/ZONE TENGAH
Disebut juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung mahkota segi empat atau segi banyak bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan bangunan bujur sangkar, segi empat atau segi banyak dengan sisi-sisi sekitar satu depa alit, depa madya, depa agung.
Bale Kentongan, disebut bale kul-kul letaknya di sudut depan pekarangan pura, bentuknya susunan tepas, batur, sari dan atap penutup ruangan kul-kul/kentongan. Fungsinya untuk tempat kul-kul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.
Bale Bengong, disebut juga Pewarengan suci letaknya diantara jaba tengah/mandala madya, mandala nista/jaba sisi. Bentuk bangunannya empat persegi atau memanjang deretan tiang dua-dua atau banyak luas bangunan untuk dapur. Fungsinya untuk mempersiapkan keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari desa tempat pemukiman.
MANDALA NISTA/ZONE DEPAN
Disebut juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar ke dalam pura yang terdiri dari bangunan candi bentar/bangunan penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan atau di jabaan tengah/sisi memakai candi bentar dan pintu masuk ke jeroan utama memakai Kori Agung.
Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menuju ke arah timur demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghadap ke arah timur ke arah terbitnya matahari.

Komposisi masa-masa bangunan pura berjajar antara selatan atau selatan-selatan di sisi timur menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan.

UPACARA ADAT SEREN TAUN, JAWA BARAT


Pernahkah anda mendengar Upacara Adat Seren Taun? 


Upacara Adat Seren Taun merupakan salah satu upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat sunda pada saat panen padi setiap tahu. dengan penuh khidmat dan semarak upacara adat ini berlangsung di berbagai daerah adat sunda. Upacara adat ini mempunyai simbol atau ungkapan rasa syukur masyarakat atas apa yang telah dilakukan dan diraihnya selama bercocok tanam khususnya tanaman padi. Selain digelar dengan khidmat dan sakral, upacara adat Seren Taunpun digelar dengan meriha, kemeriahan upacar ini dengan diikuti berbagai kalangan masyarakat sekitar juga masyarakat dari beberapa daerah di Jawa Barat, bahkan ada juga pengunjung dari manca Negara.
Dalam upacara ini yang menjadi objek utama adalah padi, sebab padi merupakan imbol kemakmuran dan makanan poko sehari-hari bagi masyarakat sunda, selain itu anda juga akan menyaksikan berbagai kesenian dan pertunjukkan khas sunda yang ditampilkan diantaranya :
1.   Tari Buyung
Tari ini merupakan tarian adat sunda yang mencerminkan masyarakat sunda dalam mengambil air
2.    Damar Sewu
Sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat seren taun di beberapa daerah di Jawa Barat. Helaran ini Merupakan gambaran manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial.



Dalam rangkaian pelaksanaan upacara ini tergantung daerah masing-masing, namun pada fungsi dan tujuannya sama yaitu Sebagai ungkapan rasa syukur, rasa hormat serta terimakasih kepada Yang Maha Kuasa panen yang telah  diperoleh, sebab upacara Seren Taun ini digelar dibeberapa Desa adat sunda, beberapa desa adat sunda yang menggelar upara seren taun setiap tahun yaitu :
  • Desa CigugurKecamatan CigugurKabupaten KuninganJawa Barat.
  • Kasepuhan Banten Kidul, Desa Ciptagelar, Cisolok, Kabupaten Sukabumi
  • Desa adat Sindang Barang, Desa Pasir Eurih, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor
  • Desa KanekesKabupaten LebakBanten
  • Kampung Naga Kabupaten Tasikmalaya.
Dengan waktu yang berbeda menurut perhitungan dan kebiasaan di daerah masing-masing, salah satunya di Desa Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa Barat, upacara ini digelar setiap tanggal 22 bulan Rayagung (Dzulhijjah) perhitungan hijriyah.

UPACARA ADAT SUNDA, JAWA BARAT


Adat Istiadat Sunda yang Menawan
Suku sunda merupakan suku yang sangat kaya akan adat dan istiadat. Sampai saat ini, suku Sunda masih memelihara dan menghargai adat istiadat yang mereka miliki. Salah satu uapacara adat yang menarik adalah upacara adat sunda saat perkawinan. Untuk prosesinya sama seperti perkawinan pada umumnya seperti mengucapkan ijab Kabul dan sebagainya. Yang unik dan tak kalah sakral adalah setelah akad nikah selesai. Upacara adat sunda yang dilaksanankan setelah akad nikah adalah 
  • Menginjak telur atau sering disebut nincak endog dengan makhsud agar malam pertama si pengantin berjalan indah dan lancar. 
  • Muleum Harupat atau membakar segenggam lidi yang berisi 7 potongan lidi agar sifat jelek yang ada pada diri manusia seperti iri, dengki, tamak, sombong, kikir, pemarah, dan lainnya dapat terbakar atau hilang. 
  • Meuspeun Kendi atau memecahkan kendi dengan tujuan melepas masa bujangan dan gadis pada malam pertama. 
  • Sawer. Dilakukan dengan cara melempar barang-barang seperti permen, beras kuning, dan uang recehan diirngi dengan lagu pepatah bagi pengantin. Beras, uang receh serta permen merupakan simbol keduniaan yang harus dicari oleh kaum lelaki dan kaum perempuan harus menjaganya dengan baik. 
  • Buka pintu atau buka panto untuk mengajarkan tradisi dan tata krama bagi suami dan isteri
Itulah upacara adat sunda seusai pernikahan.

UPACARA ADAT BATAK TOBA, SUMATERA UTARA


bd97a5f802fa9915d02896fbf9108eb0_adat
Kehidupan Masyarakat Batak adalah kehidupan yang sangat menjunjung tinggi adatnya. Masyarakat Batak bahkan sebelum lahir ke dunia pun (masih dalam kandungan) sudah melakoni adat sampai seorang Batak tersebut meninggal dan menjadi tulang-belulang masih ada serangkaian adat. Ini bukan menunjukkan rumitnya Batak dan adatnya, ini menunjukkan bahwa Dalihan Natolu (Somba marhula-hula, Elek marboru, Manat mardongan tubu) selalu ditunjukkan dengan perayaan serta syukuran dan Adat digunakan sebagai pertanda.
Beberapa macam Adat Batak Toba :
1.Upacara adat Mangirdak atau Mangganje atau Mambosuri boru (adat tujuh bulanan)
Upacara adat Mangirdak adalah upacara yang diterima oleh seorang ibu yang usia
kandungannya tujuh bulan.
2. Upacara adat Mangharoan
Upacara adat mangharoan (dibaca:Makkaroan) adalah upacara adat yang dilaksanakan setelah dua minggu kelahiran bayi untuk menyambut kedatangan bayi tersebut dalam keluarga tersebut.
3. Upacara adat Martutu aek
Upacara adat martutu aek adalah upacara adat pemberian nama kepada bayi. Namun, padasaat ini, upacara ini sudah tidak dilakukan lagi karena dianggap tidak sesuai dengan ajaranagama.
1d6ef3d6c77c09aa5c32f4f180e8a2e8_martutuaek
4. Upacara adat Marhajabuan
Upacara adat marhajabuan adalah upacara adat pernikahan sesuai dengan adat Batak Toba, marhajabuan(berumah-tangga) artinya setiap masyarakat batak yang akan berumah tangga atau menikah harus melalui sebuah pesta adat tidak boleh hanya dibaptis di gereja atau hanya sekedar akad nikah. Acara ini akan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga dari pihak pria maupun wanita dan diadakan pemberian ulos kepada pasangan yang menikah.
5. Upacara adat Manulangi
Upacara adat manulangi adalah upacara adat yang diberikan kepada orang tua yang lanjut usianya dengan menyuapi/menyulangkan makanan kesukaan atau makanan yang terbaik oleh anak dan cucunya.
6. Upacara adat Hamatean
Upacara adat hamatean adalah upacara adat kematian saat seseorang Batak meninggal disesuaikan dengan adat Batak Toba apakah adat yang akan dibuat jika seseorang meninggal sebagai sari matua, saur matua, maulibulung dll.
c3428e0cff540fa06bafcb8ed8a2571a_mate
7. Upacara adat Mangongkal holi
Upacara adat mangongkal holi adalah upacara adat penggalian tulang belulang orang tua yang
telah meninggal untuk dimasukkan kedalam tugu (monumen untuk menghormati orang yang meninggal).
47ebdae668e23ce0971ca924018535cc_holi2

UPACARA ADAT HANTA UA PUA DARI NUSA TENGGARA BARAT

Upacara adat Hanta Ua Pua adalah upacara adat yang digelar oleh umat Islam di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Selain itu, upacara adat ini juga bertujuan untuk memperingati masuknya agama Islam ke Bima dan sekaligus menghormati para pembawa agama Islam ke daerah tersebut.
Menurut buku Bo’ Sangaji Kai, hasil suntingan Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahuddin (1999), Islam masuk ke Bima pada hari Kamis tanggal 5 Juli 1640 M (15 Rabiul Awal 1050 H) dibawa oleh dua orang datuk keturunan bangsawan Melayu dari Kerajaan Pagaruyung (kini masuk dalam wilayah Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat) bernama Datuk Dibanda dan Datuk Ditiro.
Konon, upacara adat Hanta Ua Pua telah dilaksanakan oleh kerajaan dan masyarakat Bima sejak empat abad silam. Pada saat itu, upacara resmi Kerajaan Bima ini dihelat saban tahun dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan, upacara sakral ini menjadi ajang silaturahmi antarsuku bangsa. Namun, upacara ini terhenti tatkala Perang Dunia II meletus. Setelah Indonesia merdeka, karena menimbang nilai-nilai historis dan religius yang terkandung di dalamnya, pihak Kerajaan Bima berinisiatif menghidupkan kembali upacara ini pada tahun 1950-an. Namun, perhelatan upacara adat tersebut terasa hambar dan kesakralannya kian tergerus. Sebagaimana diketahui, tahun 1950-an adalah masa transisi politik dari kerajaan menuju swapraja yang sarat dengan intrik politik dan konflik kepentingan. Setelah tahun 1950-an, upacara adat Hanta Ua Pua pernah digelar pada tahun 1980-an, tahun 1990-an, dan tahun 2003. Kendati demikian, tetap saja jauh dari kesan semarak, apalagi khidmat. Setelah era reformasi dan otonomi daerah bergulir, upacara adat Hanta Ua Pua mulai mendapatkan momentumnya. Apalagi, upacara ini mendapat dukungan penuh dari pihak Kerajaan Bima, pejabat pemerintahan Kabupaten/Kota Bima, dan masyarakat Bima pada umumnya.
Upacara adat Hanta Ua Pua dipusatkan di halaman depan Istana Kesultanan Bima, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Indonesia. Dimulai pada pagi hari, sekitar pukul 08.00 WITA, upacara dimulai dari Kampung Melayu dan berakhir di depan istana Kerajaan Bima yang juga dikenal dengan nama Asi Mbojo.
Salah satu yang menjadi daya tarik upacara adat resmi Kerajaan Bima ini, adalah iring-iringan Uma Lige. Uma Lige adalah semacam mahligai persegi empat yang dijadikan sebagai tandu untuk membawa penghulu Melayu dari Kampung Melayu hingga serambi Istana Kerajaan Bima. Penghulu Melayu tersebut didampingi oleh empat orang penari perempuan Lenggo Mbojo dan empat orang penari laki-laki Lenggo Melayu. Selain penghulu Melayu dan para penari, di dalam Uma Lige juga terdapat sebuah kitab suci Al-Qur’an dan Ua Pua (Sirih Puan), yaitu 99 tangkai bunga telur aneka warna dan hiasan yang dilengkapi dengan sirih dan pinang. 99 tangkai bunga telur itu melukiskan 99 nama Asmaul Husna. Uma Lige ini digotong oleh 44 orang pemuda dari berbagai kelurahan/kampung di Kota Bima, di mana masing-masing sudut Uma Lige akan digotong oleh 11 orang. Konon, 44 orang penggotong tersebut menggambarkan 44 jenis keahlian/profesi masyarakat Bima pada masa lalu. Misalnya, daerah Ngadi terkenal sebagai pencetak guru mengaji Al-Qur’an, kawasan sekitar Bedi terkenal sebagai penghasil tentara, dan lain sebagainya.
Hal lain yang dapat memesona wisatawan adalah parade pasukan berkuda. Pasukan berkuda tersebut terdiri dari dua kelompok, yaitu Jara Wera dan Jara Sara’u. Jara Wera adalah pasukan berkuda yang bertugas untuk mengawal Sultan Bima, sementara Jara Sara’u adalah pasukan berkuda yang digunakan untuk mengawal tamu kehormatan Kerajaan Bima. Konon dulunya, penunggang-penunggang kuda ini adalah para pendekar yang mengantar datuk-datuk dari Makassar yang datang ke Bima melalui Teluk Bima untuk memperkenalkan agama Islam pertama kalinya.
Sesampainya di depan Istana Kerajaan Bima, pasukan Jara Wera tampil ke depan. Mereka akan memperlihatkan kebolehan menunggang kuda. Setelah itu pasukan Jara Sara’u memasuki arena yang diiringi oleh bala tentara yang dilengkapi dengan pakaian kebesaran prajurit Kerajaan Bima. Mereka melakukan atraksi ketangkasan menggunakan senjata. Suasana kian meriah karena unjuk kebolehan berkuda dan ketangkasan menggunakan senjata ini diakhiri dengan masuknya para penari yang membawakan tari perang.
Setelah atraksi pasukan berkuda selesai, rombongan Uma Lige tampil ke depan. Penghulu Melayu menyerahkan Al-Qur’an kepada Jena Teke/Raja Muda Kerajaan Bima yang merupakan acara inti upacara adat Hanta Ua Pua. Penyerahan Al-Qur’an ini melambangkan bahwa Kesultanan Bima senantiasa teguh memeluk agama Islam hingga akhir zaman dan masyarakat Bima harus mengamalkan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan mereka sehari-hari. Rangkaian upacara berikutnya adalah penyerahan Ua Pua/Sirih Pinang oleh para penari Lenggo kepada Jena Teke.
Setelah upacara adat Hanta Ua Pua usai, hal lain yang membuat para turis terhibur adalah tatkala menyaksikan para pengunjung berlomba-lomba memperebutkan Ua Pua. Mereka meyakini, bahwa bunga-bunga telur tersebut dapat membawah berkah, seperti dimudahkan rezeki oleh Allah SWT dan cepat mendapat jodoh. Selain itu, sepanjang perhelatan upacara, para turis juga akan disuguhkan dengan tarian-tarian khas daerah setempat, aneka permainan rakyat, berbagai perlombaan, dan pameran benda-benda bersejarah peninggalan Kerajaan Bima.

UPACARA ADAT REBA DARI NUSA TENGGARA TIMUR

Upacara Adat Reba merupakan upacara adat yang bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan rasa terima kasih terhadap jasa para leluhur. Upacara ini juga digunakan untuk mengevaluasi segala hal tentang kehidupan bermasyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani oleh masyarakat Ngada. Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat meminta petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh adat untuk dapat menjalani hidup lebih baik pada tahun yang baru. Upacara ini diadakan setiap tahun baru, tepatnya di bulan Januari atau Februari.
Tuan rumah untuk upacara ini selalu bergiliran pada setiap tahunnya. Sehari sebelum perayaan Reba dimulai, dilaksanakan upacara pembukaan Reba (su‘i uwi). Pada malam su‘i uwi dilakukan acara makan minum bersama (ka maki Reba) sambil menunggu pagi. Pada pagi harinya, ketika upacara berlangsung, para tamu disediakan makanan dan minuman yang sudah matang dan siap dimakan (Ngeta kau bhagi ngia, mami utu mogo. Kaa si papa vara, ini su papa pinu). Hidangan utama dalam pesta ini adalah ubi. Bagi warga Ngada, ubi diagungkan sebagai sumber makanan yang tak pernah habis disediakan oleh bumi. Karena itu, warga Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan ataupun busung lapar.
Selama upacara Reba berlangsung diiringi oleh tarian para penari yang menggenggam pedang panjang (sau) dan tongkat warna-warni yang pada bagian ujungnya dihiasi dengan bulu kambing berwarna putih. (tuba). Sebagai pengiring tarian adalah alat musik gesek berdawai tunggal yang terbuat dari tempurung kelapa atau juga dari labu hutan. Sebagai wadah resonansinya alat musik ini ditutupi dengan kulit kambing yang pada bagian tengahnya telah dilubangi. Sedangkan penggeseknya terbuat dari sebilah bambu yang telah diikat dengan benang tenun yang telah digosok dengan lilin.
Upacara adat Reba biasa dilakukan tiga sampai empat hari. Sebelum pelaksanaan upacara tari-tarian dan nyanyian (O Uwi) diadakan misa inkulturasi di gereja yang dipimpin oleh seorang pater atau romo. Beberapa rangkaian upacara juga diiringi dengan koor nyanyian gereja, dan menggunakan bahasa lokal Ngada. Upacara ini memang memadukan unsur adat dengan agama.
Di luar gereja, suasana upacara adat bertambah meriah, ketika para penonton dan penari disodori satu dua gelas arak (tua ara). Ini merupakan tradisi setiap orang Ngada yang hadir dalam upacara tersebut. Namun demikian, Reba tidak sekadar pesta hura-hura, tapi wujud kegembiraan (gaja gora) masyarakat Ngada dengan tetap menjaga nuansa rohani.
Upacara Reba dapat disaksikan di masing-masing kecamatan yang terletak di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, Provinsi NTT. Masing-masing kecamatan itu adalah Aimere, Bajawa, Mataloko, Jerebu‘u dan So‘a.
Akses Menuju kawasan iniyaitu dari Kupang, ibukota Provinsi NTT, dapat naik pesawat menuju Ende, sebuah kota di Pulau Flores. Setiba di sana, perjalanan dilanjutkan menuju Kota Ngada yang berjarak sekitar 61 kilometer dengan naik minibus.
Fasilitas di kota Ngada terdapat beberapa hotel, mulai dari kelas melati hingga bintang dua. Di samping itu, terdapat beberapa restoran yang menyediakan makanan khas Ngada, dan beberapa biro wisata yang siap melayani wisatawan ke obyek wisata lainnya di sekitar Ngada. 

UPACARA PERNIKAHAN ADAT BETAWI




Budaya betawi mengenal cara yang bertingkat-tingkat untuk sampai pada tahap berumah tangga. Tahap-tahap itu pada saat ini memang jarang atau tidak lagi dilakukan, karena berbagai halangan. Tahap-tahap tersebut adalah:

a-      Ngedelegin, mencari calon menantu perempuan yang di lakukan oleh Mak Comblang.

b-      Ngelamar, pernyataan meminta pihak lelaki kepada pigak perempuan.

c-      Bawa Tende Putus, pernyataan atau kesepakatan kapan pernikahan akan dilaksanakan. 

d-   Ngerudat, rombongan keluarga pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, seraya membawa serah-serahan seperti roti budaya, pesalin, sie, dan lain-lain.

e- Akad Nikah, ikrar yang di ucapkan oleh pengantin laki-laki di hadapsn wali pengantin perempuan. 
f.     
 -  Kebesaran, upacara kedua mempelai duduk di puade untuk menerima ucapan selamat dari keluarga dan undangan.
  
g-      Negor, upaya suami merayu istrinya untuk memulai hidup baru sebagai sebuah keluarga.

h-   Pulang Tige Ari, upacara resepsi pernikahan yang di lakukan di rumah keluarga pengantin lelaki. 

SahabatQ

Like Facebokk Friends

ProfilQ

VERDA CANTIKA.PSH

Masih Sekolah di SMPN 1 ploso Jombang dr keluarga 3 bersaudara :adik Rindu masih kelas 4 SDN Kedungrejo dn adik Livi masih kecil umur 2,5 th kami keluarga bahagia yg saling menyayangi dn mengasihi sekian Trimksh Lihat Lengkap ProfilQ