NEWS UPDATE :
Tampilkan postingan dengan label Tradisi Daerah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tradisi Daerah. Tampilkan semua postingan

TRADISI SEDEKAH LAUT

    Tradisi sedekah laut adalah  membuang sesaji ke laut dengan maksud memberikan makanan kepada yang mbaurekso atau penguasa laut. Upacara Sedekah Laut merupakan upacara tradisional masyarakat nelayan kabupaten Cilacap sebagai ungkapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang dilaksanakan pada setiap tahun Bulan Syuro/Muharam pada hari Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon dan berawal dari masa Jabatan Bupati Kanjeng Adipati Tjakrawedana II ( Tahun 1839 – 1856 ) berpangkat Patih Kabupaten Banyumas dengan Gelar Tumenggung.
 Pada Tahun 1956 Gelar Tumenggung diganti dengan Adipati dan nama semula Tjakradirdja diubah dengan nama Tjakrawedana II karena nunggak semi. Pada tahun 1873 Kanjeng Adipati wafat dalam bulan januari takala menghadiri pesta tahun baru di Karesidenan Banyumas. Pengganti Bupati Kanjeng Adipati Tjakrawedana II, putra sulungnya dengan Gelar Tumenggung Tjakrawedana III nunggak semi lagi. Raden Tjakrawedana III inilah pada hari Jum’at Kliwon Bulan Syuro tahun 1875 memanggil seorang sesepuh nelayan Cilacap yang bertempat tinggal di pantai pandanarang sekarang lebih dikenal dengan pantai Teluk Penyu bernama Ki Arsa Menawi untuk menghadap Bupati dan mendapat perintah untuk melarung sesaji yang telah disiapkan di Pendopo Kabupaten. 
            Sesaji yang dikemas dengan bungkus kain warna kuning dan suatu usungan rumah joglo yang beratap daun nipah berisi antara lain kepala sapi serta berbagai kelengkapan kehidupan sehari – hari dari bahan mentah sampai makanan yang beraneka macam, rumah joglo tersebut sekarang disebut Jolen. Untuk selanjutnya sesaji dan jolen tersebut dibawa oleh Ki Arsa Menawi beserta para nelayan diperintahkan oleh Kanjeng Bupati untuk dilarung dilaut selatan dekat Pulau Majeti Karangbandung Pulau Nusakambangan dengan dipercayai oleh para nelayan bahwa tempat tersebut tumbuh bunga Wijayakusuma.
            Pada masyarakat Cilacap, sedekah laut lebih dikenal dengan istilah larung sesaji, yang merupakan prosesi menghayutkan sesaji ke laut sebagai bentuk pengungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan penguasa laut pantai selatan, Nyai Roro Kidul. Sosok Nyai Roro Kidul sangat dihormati dikalangan nelayan Cilacap, mereka berpendapat bahwa Nyai Roro Kidul adalah Ratu Pantai Selatan yang menjaga, mengatur serta menghidupi kelangsungan kehidupan di Pantai Selatan Jawa. Mereka juga berpendapat bahwa, penghasilan baik dan buruknya mereka melaut adalah tergantung dari bagaimana kebaikan dari Ratu Pantai Selatan, oleh sebab itu guna menarik mendapatkan keselamatan dari sang ratu, maka setiap tahun masyarakat melakukan persembahan kepada Nyai Roro Kidul.
            Mengingat tradisi ini sangat kuat bagi nelayan khususnya nelayan Cilacap sehingga apabila tidak dilaksanakan mempunyai kekhwatiran bisa akan terjadi malapetaka bagi para nelayan Cilacap.
Sedekah laut di Cilacap
Sarana dan Prasarana
·         Perahu nelayan untuk membawa jolen yang akan dilarung.
·         Jolen yang didalamnya berisi sesaji.

Prosesi Pelaksaaan
Prosesi larung sesaji diadakan pada pagi harinya yaitu hari jum’at kliwon atau selasa kliwon kurang lebih pukul 07.00 wib masing-masing kelompok nelayan membawa sesaji dan jolen yang berisi jajan pasar, makanan mentah dan mainan anak-anak serta kepala kerbau, sapi atau kambing tergantung kemampuan kelompok masing – masing dengan diiringi beberapa pasukan dan kesenian tradisional menuju Pendopo Kabupaten. Setelah semua jolen dari kelompok nelayan berada di Pendapa Kabupaten kemudian dibawa menuju pantai teluk penyu.

Waktu Pelaksanaan
Adat nelayan sedekah laut dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro/Muharam tepatnya pada hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon. Rangakian pelaksanaan sedekah laut ini terdiri dari :
·         Nyekar di pulau Majeti Karang Bandung Nusakambangan, yaitu  lokasi yang diyakini menjadi tempat tumbuhnya bunga Wijaya Kusuma, yang dilaksanakan pada pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB satu hari menjelang Prosesi Larung Jolen (hari senin wage atau kamis wage).
·         Pada malam selasa kliwon atau jumat kliwon sebelum pelarungan sesaji diadakan Tirakatan sambil menjaga Jolen yang berisi sesaji yang akan dilarung.
·         Hari selasa kliwon atau jumat kliwon, Prosesi pelarungan Jolen yang berisi sesaji, dilaksanakan sekitar pukul 07.00 WIB.
Proses pelarungan dilaksanakan di tengah laut yaitu dengan cara membuang sesaji yang berada di dalam Jolen. Sesaji dibuang kelaut dan masyarakat akan ramai-ramai merebut sesaji tersebut karena diyakini akan membawa berkah bagi dirinya.
Makna yang terkandung.

Sedekah laut di Cilacap
Dasar pengertian ajaran kejawen yang berkaitan dengan alam­ atau lingkungan hidup yaitu Memayu Hayuning Bawana yang maknanya adalah :
-          Memayu          = mengayomi  atau melindungi
-          Hayu               = rahayu , keselamatan,  pelestarian
-          Bawana           = alam  atau jagad atau dunia .
Jadi Memayu Hayuning Bawana adalah  penyelamatan alam atau lingkungan hidup. Bahwa manusia mempunyai kewajiban  serta tangggung jawab moral atas kelestarian bumi seisinya atau dalam melestarikan lingkungan hidup.

TRADISI RUWATAN DI JAWA TENGAH


Ruwatan merupakan tradisi adat yang sudah turun temurun dilakukan oleh masyarakat jawa, pada prakteknya manusia hidup bermasyarakat diatur oleh suatu aturan, norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan tertentu yang mengikatnya, sekaligus merupakan cita-cita yang diharapkan untuk memperoleh maksud dan tujuan tertentu yang sangat didambakannya. Aturan, norma, pandangan, tradisi, atau kebiasaan-kebiasaan itulah yang mewujudkan sistem tata nilai untuk dilaksanakan masyarakat pendukungnya, yang kemudian membentuk adat-istiadat. Koentja-raningrat  mengatakan bahwa adat-istiadat sebagai suatu kompleks norma-norma yang oleh individu-individu yang menganutnya dianggap ada di atas manusia yang hidup bersama dalam kenyataan suatu masyarakat.
Ditengok dari segi sejarah, adat-istiadat Jawa telah tumbuh dan berkembang lama, baik di lingkungan kraton maupun di luar kraton. Adat istiadat Jawa tersebut memuat sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan kehidupan masyarakat, yang kini masih diakrabi dan dipatuhi oleh orang Jawa yang masih ingin melestarikannya sebagai warisan kebudayaan yang dianggap luhur dan agung. Dalam usahanya untuk melestarikan adat-istiadat, masyarakat Jawa melaksanakan tata upacara tradisi sebagai wujud perencanaan, tindakan, dan perbuatan dari tata nilai yang telah diatur. Sistem tata nilai, norma, pandangan maupun aturan diwujudkan dalam upacara tradisi yang pada prinsipnya adalah penerapan dari tata kehidupan masyarakat Jawa yang selalu ingin lebih berhati-hati, agar dalam setiap tutur kata, sikap, dan tingkah-lakunya mendapatkan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan baik jasmaniah maupun rohaniah.
Salah satu upacara tradisi yang sekarang masih ditaati, dipatuhi, diyakini, dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yaitu tata upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat”, kata “ruwat” diambil dari kata “luwar”, yang berarti terbebas atau terlepas. Maksud diselenggarakan upacara ruwatan ini adalah agar seseorang yang “diruwat” dapat terbebas atau terlepas dari ancaman mara bahaya (mala petaka).Seseorang yang oleh karena sesuatu sebab ia dianggap terkena sukerta/aib, maka ia harus diruwat. Tradisi kepercayaan yang dimiliki masyarakat Jawa, bahwa seseorang yang terkena sukerta akan mengalami kesialan dalam kehidupan duniawinya, karena itu usaha yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan mengadakan upacara ruwatan tersebut tak lain adalah untuk melindungi manusia dari segala ancaman bahaya dari kehidupannya di dunia.
Upacara ruwatan yang diselenggarakan oleh masyarakat Jawa tidak terlepaskan dengan gelaran wayang kulit yang mengangkat cerita tentang Murwakala dan Sudamala, dalam sajiannya  wayang kulit dimaksudkan untuk mengusir roh jahat yang berada di dalam tubuh seseorang yang diruwat, mantra-mantra  diucapkan oleh  dalang pada waktu ia menggelar cerita wayang kulit murwkala dan sudamala. Di dalam wayang kulit terdapat makna yang dikandung arti kehidupan yang sangat mendasar.
Arti penting dalam kaitannya dengan wayang ialah masyarakat Jawa sering mengaitkan antara peristiwa yang terjadi di dalam dunia wayang dengan dunia nyata. Hakekat wayang adalah  bayangan dunia nyata, yang didalamnya terdapat makhluk ciptaan Tuhan.
Dalam wayang, visualisasi Batara Kala adalah dewa berwajah raksasa yang tinggi, besar, menyeramkan dan menakutkan. Anggapan-anggapan ini lama-kelamaan menjadi keyakinan yang kokoh di dalam keyakinan mayarakat Jawa. Agar terhindar dari ancaman
Batara Kala, mereka mengadakan upacara ruwatan dengan sarana pertunjukan wayang dengan lakon khusus, yaitu Murwakala atau Sudamala.

KIRAB KERBAU KYAI SLAMET


Malam 1 sura dalam masyarakat Jawa adalah suatu perayaan tahun baru menurut kalender Jawa. Dalam perhitungan jawa, malam 1 sura dimulai dari terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan terakhir kelender jawa (29/30 bulan Besar) sampai terbitnya sang matahari pada hari pertama bulan pertama tahun berikutnya.
Dilingkungan keraton Surakarta Hadiningrat upacara ini diperingati dengan kegiatan kirab mengililingi beteng keraton. Dimulai dari kompleks Kemandungan Utara melalui gerbang Brojonolo kemudian mengintari seluruh kawasan keraton dengan arah berlawanan arah putaran jarum jam dan berakhir di halaman Kemandungan Utara. Dalam profesi pusaka keraton menjadi bagian utama pada barisan terdepan baru kemudian diikuti para pembesar keraton, kerabat dan jajaran keraton yang lengkap dengan pakaian keratonnya, dan akhirnya oleh masyarakat. Uniknya pada lapisan barisan terdepan ditempatkan pusaka yang berupa sekawanan kerbau albino yang diberi nama Kyai Slamet yang selalu menjadi pusat perhatian tersendiri bagi masyarakat.
Kirab Pusaka 1 Sura  ini melibatkan sekitar 600 abdi dalem yang mengusung 13 pusaka Kraton Surakarta. Kirab dilakukan dengan membawa penerangan obor dan lampu ting mengelilingi kompleks Keraton melalui Gladag-Jl Jenderal Sudirman-Jl Mayor Kusmanto-Jl Kapten Mulyadi-Jl Veteran-Jl Yos Sudarso-Jl Slamet Riyadi-Gladag dan kembali ke kraton.  Dari Pringgitan  KGPAA Mangkunegaran IX, berjalan menuju teras Pendhapi Ageng untuk melepas empat pusaka. Sebelum diarak mengelilingi Pura Mangkunegaran yang diikuti oleh kerabat kerjaan serta masyarakat, pusaka tersebut dibasuh air terlebih dahulu.  Setelah itu barulah saatnya kirab kerbau kyai slamet. Kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, biasanya tepat tengah malam, tergantung kemauan dari kebo Kyai Slamet. Sebab, adakalanya kebo keramat baru keluar dari kandang selepas pukul 01.00. Kirab pusaka ini sepenuhnya memang sangat tergantung pada kebo keramat Kyai Slamet. Jika saatnya tiba, biasanya tanpa harus digiring kawanan kebo bule akan berjalan dari kandangnya menuju halaman keraton. Maka, kirab pun dimulai. Kawanan kerbau keramat akan berada di barisan terdepan, mengawal pusaka keraton Kyai Slamet yang dibawa para abdi dalem keraton. Kerumunan orang pun menyemut dari keraton hingga di sepanjang perjalanan yang dilalui arak-arakan. Selama kirab berlangsung, Sinuhun Pakubuwono akan berdoa dengan bersemedi di dalam keraton.
Bagi masyarakat Solo, dan kota-kota di sekitarnya, seperti Karanganyar, Sragen, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, dan Wonogiri, kebo bule Kyai Slamet bukan lagi sebagai hewan yang asing. Setiap malam 1 Sura menurut penanggalan Jawa, atau malam tanggal 1 Muharam menurut kalender Islam (Hijriah), sekawanan kebo keramat ini selalu dikirab, menjadi cucuk lampah sejumlah pusaka keraton.
Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah di sekitar istana, juga di jalan-jalan yang akan dilalui kirab. Masyarakat meyakini akan mendapat berkah dari keraton jika menyaksikan kirab.
Dan inilah yang menarik, orang-orang menyikapi kekeramatan kerbau Kyai Slamet sedemikian rupa, sehingga cenderung tidak masuk akal. Mereka berjalan mengikuti kirab, saling berebut berusaha menyentuh atau menjamah tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh tubuh kebo, orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran.
Begitu kotoran jatuh ke jalan, orang-orang pun saling berebut mendapatkannya. Tidak masuk akal memang. Tapi mereka meyakini bahwa kotoran sang kerbau akan memberikan berkah, keselamatan, dan rejeki berlimpah. Mereka menyebut berebut kotoran tersebut sebagai sebagai tradisi ngalap berkah atau mencari berkah Kyai Slamet.

SEKATEN

Sekaten atau upacara Sekaten (berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat) adalah acara peringatan ulang tahun nabi Muhammad s.a.w. yang diadakan pada tiap tanggal 5 bulan Jawa Mulud (Rabiul awal tahun Hijrah) di alun-alun utara Surakarta dan Yogyakarta. Upacara ini dulunya dipakai oleh Sultan Hamengkubuwana I, pendiri keraton Yogyakarta untuk mengundang masyarakat mengikuti dan memeluk agama Islam.

Pada hari pertama, upacara diawali saat malam hari dengan iring-iringan abdi Dalem (punggawa kraton) bersama-sama dengan dua set gamelan Jawa: Kyai Nogowilogo dan Kyai Gunturmadu. Iring-iringan ini bermula dari pendopo Ponconiti menuju masjid Agung di alun-alun utara dengan dikawal oleh prajurit Kraton. Kyai Nogowilogo akan menempati sisi utara dari masjid Agung, sementara Kyai Gunturmadu akan berada di Pagongan sebelah selatan masjid. Kedua set gamelan ini akan dimainkan secara bersamaan sampai dengan tanggal 11 bulan Mulud selama 7 hari berturut-turut. Pada malam hari terakhir, kedua gamelan ini akan dibawa pulang ke dalam Kraton.

Tradisi

A. Grebeg Muludan

Acara puncak peringatan Sekaten ini ditandai dengan Grebeg Muludan yang diadakan pada tanggal 12 (persis di hari ulang tahun Nabi Muhammad s.a.w.) mulai jam 8:00 pagi. Dengan dikawal oleh 10 macam (bregodo/kompi) prajurit Kraton: Wirobrojo, Daeng, Patangpuluh, Jogokaryo, Prawirotomo, Nyutro, Ketanggung, Mantrijero, Surokarso, dan Bugis, sebuah Gunungan yang terbuat dari beras ketan, makanan dan buah-buahan serta sayur-sayuan akan dibawa dari istana Kemandungan melewati Sitihinggil dan Pagelaran menuju masjid Agung. Setelah dido’akan Gunungan yang melambangkan kesejahteraan kerajaan Mataram ini dibagikan kepada masyarakat yang menganggap bahwa bagian dari Gunungan ini akan membawa berkah bagi mereka. Bagian Gunungan yang dianggap sakral ini akan dibawa pulang dan ditanam di sawah/ladang agar sawah mereka menjadi subur dan bebas dari segala macam bencana dan malapetaka.


B. Tumplak Wajik

Dua hari sebelum acara Grebeg Muludan, suatu upacara Tumplak Wajik diadakan di halaman istana Magangan pada jam 16:00 sore. Upacara ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan memakai kentongan,lumpang untuk menumbuk padi, dan semacamnya yang menandai awal dari pembuatan Gunungan yang akan diarak pada saat acara Grebeg Muludan nantinya. Lagu-lagu yang dimainkan dalam acara Tumplak Wajik ini adalah lagu Jawa populer seperti: Lompong Keli, Tundhung Setan, Owal awil, atau lagu-lagu rakyat lainnya.

Sampai sekarang budaya sekaten masih dilestarikan oleh masyarakan Jawa Tengah khususnya Yogyakarta dan Surakarta

SahabatQ

Like Facebokk Friends

ProfilQ

VERDA CANTIKA.PSH

Masih Sekolah di SMPN 1 ploso Jombang dr keluarga 3 bersaudara :adik Rindu masih kelas 4 SDN Kedungrejo dn adik Livi masih kecil umur 2,5 th kami keluarga bahagia yg saling menyayangi dn mengasihi sekian Trimksh Lihat Lengkap ProfilQ