NEWS UPDATE :
Tampilkan postingan dengan label Rumah Adat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rumah Adat. Tampilkan semua postingan

RUMAH ADAT RIAU

Berbicara tentang Privinsi Riau, disini ternyata memiliki keanekaragaman dalam bentuk atau segi bangunan rumahnya. Karena disinilah diprovinsi Riau anda dapat menemukan bangunan-bangunan yang khas dengan adat provinsinya. Berikut beberapa penjelasan rumah-rumah adat tradisional dari provinsi Riau :

Rumah adat Selaso Jatuh Kembar



Rumah adat di daerah Riau bernama Selaso Jatuh Kembar. Ruangan rumah ini terdiri dari ruangan besar untuk tempat tidur. ruangan bersila, anjungan dan dapur. Rumah adat ini dilengkapi pula dengan Balai Adat yang dipergunakan untuk pertemuan dan musyawarah adat.

SUMBER CORAK
Corak dasar Melayu Riau umumnya bersumber dari alam, yakni terdiri atas flora, fauna, dan benda-benda angkasa. Benda-benda itulah yang direka-reka dalam bentuk-bentuk tertentu, baik menurut bentuk asalnya seperti bunga kundur, bunga hutan, maupun dalam bentuk yang sudah diabstrakkan atau dimodifikasi sehingga tak lagi menampakkan wujud asalnya, tetapi hanya menggunakan namanya saja seperti itik pulang petang, semut beriring, dan lebah bergantung.
Di antara corak-corak tersebut, yang terbanyak dipakai adalah yang bersumber pada tumbuh-tumbuhan (flora). Hal ini terjadi karena orang Melayu umumnya beragama Islam sehingga corak hewan (fauna) dikhawatirkan menjurus kepada halhal yang berbau “keberhalaan”. Corak hewan yang dipilih umumnya yang mengandung sifat tertentu atau yang berkaitan dengan mitos atau kepercayaan tempatan. Corak semut dipakai -walau tidak dalam bentuk sesungguhnya, disebut semut beriringkarena sifat semut yang rukun dan tolong-menolong. Begitu pula dengan corak lebah, disebut lebah bergantung, karena sifat lebah yang selalu memakan yang bersih, kemudian mengeluarkannya untuk dimanfaatkan orang ramai (madu). Corak naga berkaitan dengan mitos tentang keperkasaan naga sebagai penguasa lautan dan sebagainya. Selain itu, benda-benda angkasa seperti bulan, bintang, matahari, dan awan dijadikan corak karena mengandung nilai falsafah tertentu pula.
Ada pula corak yang bersumber dari bentuk-bentuk tertentu yakni wajik(Belah ketupat), lingkaran, kubus, segi, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga corak kaligrafi yang diambil dari kitab Alquran. Pengembangan corak-corak dasar itu, di satu sisi memperkaya bentuk hiasan. Di sisi lain, pengembangan itu juga memperkaya nilai falsafah yang terkandung di dalamnya.

RAGAM ORNAMEN
Bangunan BALAI ADAT MELAYU RIAU pada umumnya diberi ragam hiasan, mulai dari pintu,jendelah,vetilasi sampai kepuncak atap bangunan,ragam hias disesuaikan dengan makna dari setiap ukiran.
Selembayung
Selembayung disebut juga “ selo bayung “ dan “tanduk buang” adalah hiasan yang terletak bersilangan pada kedua ujung perabung bangunan.pada bangunan balai adat melayu ini setiap pertemuan sudut atap di beri selembayung yang terbuat dari ukiran kayu.
Hiasan pada pintu dan jendelah
Hiasan pada bagian atas pintu dan jendelah yang disebut”lambai-lambai”,melambangkan sikap ramah tamah. Hiasan “Klik-klik” disebut kisi-kisi dan jerajak pada jendelah dan pagar.


Rumah Lancang (Rumah Tradisional Kabupaten Kampar, Provinsi Riau)



Asal-Usul
Rumah Lancang atau Pencalang merupakan nama salah satu Rumah tradisional masyarakat Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, Indonesia. Selain nama Rumah Lancang atau Pencalang, Rumah ini juga dikenal dengan sebutan Rumah Lontik. Disebut Lancang atau Pencalang karena bentuk hiasan kaki dinding depannya mirip perahu, bentuk dinding Rumah yang miring keluar seperti miringnya dinding perahu layar mereka, dan jika dilihat dari jauh bentuk Rumah tersebut seperti Rumah-Rumah perahu (magon) yang biasa dibuat penduduk. Sedangkan nama Lontik dipakai karena bentuk perabung (bubungan) atapnya melentik ke atas.
Rumah Lancang merupakan Rumah panggung. Tipe konstruksi panggung dipilih untuk menghindari bahaya serangan binatang buas dan terjangan banjir. Di samping itu, ada kebiasaan masyarakat untuk menggunakan kolong rumah sebagai kandang ternak, wadah penyimpanan perahu, tempat bertukang, tempat anak-anak bermain, dan gudang kayu, sebagai persiapan menyambut bulan puasa. Selain itu, pembangunan Rumah berbentuk panggung sehingga untuk memasukinya harus menggunakan tangga yang mempunyai anak tangga berjumlah ganjil, lima, merupakan bentuk ekspresi keyakinan masyarakat.
Dinding luar Rumah Lancang seluruhnya miring keluar, berbeda dengan dinding dalam yang tegak lurus. Balok tumpuan dinding luar depan melengkung ke atas, dan, terkadang, disambung dengan ukiran pada sudut-sudut dinding, maka terlihat seperti bentuk perahu. Balok tutup atas dinding juga melengkung meskipun tidak semelengkung balok tumpuan. Lengkungannya mengikuti lengkung sisi bawah bidang atap. Kedua ujung perabung diberi hiasan yang disebut sulo bayung. Sedangkan sayok lalangan merupakan ornamen pada keempat sudut cucuran atap. Bentuk hiasan beragam, ada yang menyerupai bulan sabit, tanduk kerbau, taji dan sebagainya.
Keberadaan Rumah Lancang, nampaknya, merupakan hasil dari proses akulturasi arsitektur asli masyarakat Kampar dan Minangkabau. Dasar dan dinding Rumah yang berbentuk seperti perahu merupakan ciri khas masyarakat Kampar, sedangkan bentuk atap lentik (Lontik) merupakan ciri khas arsitektur Minangkabau. Proses akulturasi arsitektur terjadi karena daerah Kampar merupakan alur pelayaran, Sungai Mahat, dari Lima Koto menuju wilayah Tanah Datar di Payakumbuh, Minangkabau. Daerah Lima Koto mencakup Kampung Rumbio, Kampar, Air, Tiris, Bangkinang, Salo, dan Kuok. Oleh karena Kampar merupakan bagian dari alur mobilitas masyarakat, maka proses akulturasi merupakan hal yang sangat mungkin terjadi. Hasil dari proses akulturasi tersebut nampak dari keunikan Rumah Lancang yang sedikit banyak berbeda dengan arsitektur bangunan di daerah Riau Daratan dan Riau Kepulauan.


Rumah Belah Bubung (Rumah Tradisional Melayu di Kepulauan Riau)



Asal-Usul
Kepulauan Riau merupakan salah satu satu provinsi di Indonesia. Daerah ini merupakan gugusan pulau yang tersebar di perairan selat Malaka dan laut Cina selatan. Keadaan pulau-pulau itu berbukit dengan pantai landai dan terjal. Mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan dan petani. Sedangkan agama yang dianut oleh sebagian besar dari mereka adalah Islam.
Kondisi alam dan keyakinan masyarakat Kepulauan Riau sangat mempengaruhi pola arsitektur rumahnya. Pengaruh alam sekitar dan keyakinan dapat dilihat dari bentuk rumahnya, yaitu berbentuk panggung yang didirikan di atas tiang dengan tinggi sekitar 1,50 meter sampai 2,40 meter. Penggunaan bahan-bahan untuk membuat rumah, pemberian ragam hias, dan penggunaan warna-warna untuk memperindah rumah merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan dan ekpresi nilai keagamaan dan nilai budaya.
Salah satu rumah untuk tempat tinggal masyarakat Kepulauan Riau adalah rumah Belah Bubung. Rumah ini juga dikenal dengan sebutan rumah Rabung atau rumah Bumbung Melayu. Nama rumah Belah Bubung diberikan oleh orang Melayu karena bentuk atapnya terbelah. Disebut rumah Rabung karena atapnya mengunakan perabung. Sedangkan nama rumah Bubung Melayu diberikan oleh orang-orang asing, khususnya Cina dan Belanda, karena bentuknya berbeda dengan rumah asal mereka, yaitu berupa rumah Kelenting dan Limas.
Nama rumah ini juga terkadang diberikan berdasarkan bentuk dan variasi atapnya, misalnya: disebut rumah Lipat Pandan karena atapnya curam; rumah Lipat Kajang karena atapnya agak mendatar; rumah Atap Layar atau Ampar Labu karena bagian bawah atapnya ditambah dengan atap lain; rumah Perabung Panjang karena Perabung atapnya sejajar dengan jalan raya; dan rumah Perabung Melintang karena Perabungnya tidak sejajar dengan jalan.
Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun demikian, kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta, dari satu sampai lima. Adapun uratannya adalah: ular berenang, meniti riak, riak meniti kumbang berteduh, habis utang berganti utang, dan hutang lima belum berimbuh. Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh.


Rumah Adat Melayu Limas Potong



Limas Potong adalah salah satu bentuk rumah tradisional masyarakat melayu Riau Kepulauan. Rumah Limas Potong berbentuk rumah panggung, sebagaimana rumah tradisional di Sumatra pada umumnya. Tingginya sekitar 1,5 meter dari atas permukaan tanah. Dinding rumah terbuat dari susunan papan warna coklat, sementara atapnya berupa seng warna merah. Kusen pintu, jendela serta pilar anjungan depan rumah dicat minyak warna putih.


Jenis rumah adat melayu yang lain adalah rumah tradisional Belah Bubung. Kalau di Riau daratan, rumah tradisionalnya ada Rumah Lontik, dan Rumah Salaso Jatuh Kembar.


RUMAH ADAT JAMBI (KAJANG LAKO dan RUMAH TUO)

Diprovinsi Jambi inilah yang menurut saya sangat unik akan keanekaragaman rumah adatnya,karena di provinsi ini masih terdapat bangunan asli dari jaman nenek moyang kita. Rumah Kajang Lako dan Rumah Tuo inilah yang menjadikan kota Jambi begitu kental dengan keaslian budayanya,berikut penjelasan dari Rumah Kajang Lako dan Rumah Tuo :

A. Kajang Lako
Rumah Orang Batin (Jambi)



Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.


Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.

Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.

Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.

Bentuk Rumah

Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.

Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.

Bubungan/atap biasa juga disebut dengan ‘gajah mabuk,’ diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.

Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.

Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.

Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.

Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.

Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.

Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.

Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.

Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.

Susunan dan Fungsi Ruangan

Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.

Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah.

Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan.

Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.

Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita.

Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.

Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang adalah 2×9 m, sama dengan ruang gaho.

Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.

Ragam Hias

Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang).

Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk.

Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.

Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan.

Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.


B. Rumah Tuo



Jambi pernah berada pada masa-masa gundah pencarian identitas diri. Bahkan, gubernur sampai harus menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah adat macam apa untuk dijadikan identitas negeri “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” ini.

Jambi agak unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Jika banyak rumah adat daerah lain mulai menghilang seiring dengan kemajuan zaman, masyarakat Jambi justru tengah menikmati eforia membangun rumah-rumah berarsitektur adat.

Sebenarnya, kegairahan ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tatkala Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan konsep arsitektur rumah yang menjadi ciri khas Jambi. Gambaran jelas tentang wujud rumah adat tersebut dapat kita temukan saat bertandang ke kompleks Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura, Kota Jambi.

Tepat pada sisi kanan bangunan kantor kita akan temukan rumah adat bertiang, berwarna hitam, lengkap dengan tanduk kambing bersilang ke dalam pada ujung atapnya. Bangunan dengan arsitektur ini merupakan hasil sayembara yang dimenangi salah seorang arsitek, yang juga pejabat daerah setempat.

Dalam penelusuran Kompas di sebuah permukiman tertua di Jambi belum lama ini, diperoleh data bahwa dari sinilah sesungguhnya identitas Jambi melalui rumah adatnya terkuak. Permukiman ini berlokasi di Dusun Kampung Baru, Kelurahan Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi.

Masih terdapat 60-an rumah adat berusia sekitar 600 tahun di sana. Permukiman tertua itu dikelilingi ratusan rumah adat sejenis, tetapi usia rumah-rumah tersebut sudah jauh lebih muda. Sangat mengagumkan, betapa masyarakat setempat masih sangat menghargai warisan adat leluhurnya.

Rumah Jambi identik dengan adat Melayu Kuno. Di dalam rumah tergambar tentang hubungan manusia dalam sebuah keluarga inti, keluarga besar, dan masyarakat. Ada penghormatan terhadap nini mamak, jaminan perlindungan bagi anak-anak, hidup berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam masyarakat. Di sini, etika hidup pun sangat dijunjung.

Rumah tertua di sana disebut Rumah Tuo milik Umar Amra (67), keturunan ke-13 dari Undup Pinang Masak. Ia adalah salah seorang bangsawan Melayu Kuno yang eksodus dari Desa Kuto Rayo, Tabir. Rumah bertiang ini masih kokoh meski tiang-tiang dan kerangkanya dari kayu kulim, yang sangat keras dagingnya itu, sudah berusia 600 tahun.

Menurut pemiliknya, rumah ini dulunya dibangun atas hasil kesepakatan dan gotong royong dari semua anggota keluarga besar. “Ada 19 keluarga pelarian dari Kuto Rayo yang bersama- sama membangun rumah ini. Setelah jadi satu rumah, mereka bersama-sama membangun rumah keluarga yang lain. Begitu seterusnya sampai tuntas dibangun 19 rumah,” paparnya.

Kesepakatan para leluhur menetapkan 20 tiang dipancang untuk menegakkan sebuah rumah. Atapnya semula dari daun rumbia, namun kini telah berganti seng. Kolong rumah jadi gudang penyimpanan kayu bakar untuk memasak dan tempat ternak.

Rumah tuo melebar tampak dari muka, dengan tiga jendela besar yang selalu dibuka pemiliknya hingga sore. Begitu cermatnya nenek moyang mereka, sampai-sampai etika diatur melalui penataan jendela.

Etika bertamu diatur oleh hukum adat. Tamu yang bertandang akan masuk ke rumah lewat tangga di sebelah kanan. Untuk tamu yang masih bujang, panggilan anak laki-laki belum menikah yang hendak bertamu, hanya boleh duduk sampai batas jendela paling kanan. Artinya, ia hanya boleh duduk paling dekat pintu masuk dan tidak boleh lebih ke dalam lagi.

Sedangkan yang dapat duduk sedikit lebih dalam, setidaknya sampai ke batas jendela kedua, adalah bujang dari keluarga besar alias punya ikatan keluarga dengan pemilik rumah. Yang dapat masuk ke rumah hingga ke bagian dalamnya adalah kaum pria yang telah menikah dan kaum perempuan.

Bilik melintang pada sisi dalam yang paling kiri adalah wilayah khusus bagi tetua kampung atau tamu kehormatan. Panjang bilik sekitar empat meter. Pada acara-acara rembuk warga, mereka yang duduk dalam bilik melintang akan dapat melihat seluruh tamu, atau tamu-tamu yang baru akan masuk rumah melalui tangga.
  

Satu Bilik

Rumah adat Jambi hanya memiliki satu bilik sebagai ruang tidur. Ini dimaksudkan ada kebersamaan, termasuk saat beristirahat, juga dalam satu ruang. Namun, sebagian besar masyarakat di sana lebih memilih tidur bersama di ruang tamu karena tempatnya lebih luas.

Rumah tuo dibangun tidak hanya sebagai tempat hunian, tetapi juga sebagai jaminan akan keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya. Terdapat lumbung-lumbung padi pada bagian belakang rumah. Satu keluarga bisa memiliki dua hingga tiga lumbung yang menyimpan berton-ton gabah hasil panen, dan tahan selama puluhan tahun. Selama itu masyarakat setempat tak pernah kekurangan pangan.

Sejumlah peralatan tradisional juga masih ditemukan di sana. Ada ambung terbuat dari anyaman rotan, dipakai untuk mengangkut hasil tanaman, selalu dipanggul di belakang punggung. Makanan dinikmati bersama dari tapan, bakul nasi yang juga dari hasil anyaman. Sedangkan peralatan dari kayu-kayuan adalah lesung, dan wadah penerangan yang biasa mereka sebut lampu Aladin.

Menurut Rio Kasim, pemangku adat setempat, rumah-rumah tersebut dibangun oleh para eksodan warga Melayu Kuno yang sebelumnya menempati kampung lain di kecamatan yang sama. Tujuannya mencari tempat aman.

Permukiman ini kemudian semakin berkembang. Namun, dalam perkembangannya, masyarakat tetap menjaga kelestarian rumah adat. Warga yang hendak membangun rumah baru juga mengacu kepada arsitektur adat setempat. Hanya saja kayu yang digunakan tidak lagi kayu kulim karena sudah semakin langka.

Meski terkesan tidak jauh berbeda dari arsitektur rumah adat Minang, ciri khas rumah adat Jambi dapat ditemukan pada sudut atapnya yang dipasang tanduk kambing, yaitu kayu bersilang menghadap ke dalam. Tanda ini menandakan rumah tersebut memiliki nini mamak sebagai pengayom.

Umar Amra mengungkapkan, tak ada keinginan dari dirinya untuk mengubah wujud rumah, kecuali mengganti atapnya menjadi seng, sekadar alasan kepraktisan. “Kalau atap dari rumbia harus diganti terus tiap dua atau tiga tahun sekali. Seng lebih awet,” tuturnya.

Ia mengaku bangga dengan rumah yang dimilikinya. Rumah yang masih kokoh ditempati bersama istri dan anak-anaknya tersebut kini sering menjadi tempat studi kalangan mahasiswa, peneliti, atau pejabat daerah yang ingin mengenal lebih jauh tentang rumah adat Jambi.


Setiap kali memasuki permukiman rumah tua itu, kita seakan kembali ke masa lalu. Keklasikan rumah-rumah yang saling berderet, lengkap dengan cara hidup dan tradisi masyarakatnya, sungguh memberi kesempurnaan akan gambaran adat Jambi. Di sinilah identitas Jambi kami dapatkan.

RUMAH ADAT BANGKA BELITUNG (MELAYU AWAL)

Memiliki bermacam-macam potensi yang menarik baik dari sumber alamnya maupun seni budayanya,Kabupaten Bangka ini menjadi salah satu tujuan wisata yang sangat menarik. Salah satu potensi yang menarik perhatian dan menjadi ciri bangka belitung adalah bentuk rumah asli dengan atap berbentuk limas dan bertangga sehingga disebut rumah panggung limas. tidak hanya bagi daerah dengan semboyan sepintu sedulang ini namun juga bagi propinsi kepulauan bangkabelitung.

Walaupun Provinsi Bangka Belitung ini memiliki bermacam rumah adat seperti : Rumah panggung, rumah limas dan rumah. Tetapi kesamaaan dengan propinsi lain yang ada di Pulau Sumatera lain adalah model arsitekturnya yang berciri arsitektur Melayu.

Terdapat tiga macam ciri arsitektur rumah adat yaitu arsitektur Melayu awal, Melayu Bubung Panjang dan Melayu Bubung Limas.

Arsitektur rumah Melayu Awal berujud rumah panggung kayu dimana hampir semua bahan material yang di pakai untuk rumah ini berupa kayu, bambu, rotan, akar pohon, daun-daun atau alang-alang yang banyak tumbuh dan sangat mudah diperoleh di sekitar pemukiman.   Arsitektur rumah Melayu Awal ini biasanya beratap tinggi dan sebagian atapnya miring. Saat pembangunan rumah yang berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang, dimana bangunan rumah yang didirikan memiliki 9 buah tiang. Tiang utama tempatnya di tengah dan didirikan pertama kali. Kemuduan atap rumah ditutup dengan daun rumbia. Sementara bagian dindingnya biasanya dibuat dari bahan pelepah/kulit kayu atau menggunakan buluh (bambu).




Bangunan Melayu Awal ini beratap tinggi di mana sebagian atapnya miring, memiliki beranda di muka, serta bukaan banyak yang berfungsi sebagai fentilasi. Rumah Melayu awal terdiri atas rumah ibu dan rumah dapur, yang berdiri di atas tiang rumah yang ditanam dalam tanah.

Berkaitan dengan tiang, masyarakat Kepulauan Bangka Belitung mengenal falsafah 9 tiang. Bangunan didirikan di atas 9 buah tiang, dengan tiang utama berada di tengah dan didirikan pertama kali. Atap ditutup dengan daun rumbia. Dindingnya biasanya dibuat dari pelepah/kulit kayu atau buluh (bambu). Rumah Melayu Bubung Panjang biasanya karena ada penambahan bangunan di sisi bangunan yang ada sebelumnya, sedangkan Bubung Limas karena pengaruh dari Palembang. Sebagian dari atap sisi bangunan dengan arsitektur ini terpancung. Selain pengaruh arsitektur Melayu ditemukan pula pengaruh arsitektur non-Melayu seperti terlihat dari bentuk Rumah Panjang yang pada umumnya didiami oleh warga keturunan Tionghoa. Pengaruh non-Melayu lain datang dari arsitektur kolonial, terutama tampak pada tangga batu dengan bentuk lengkung.
Rumah limas bangka belitung sekarang ini dapat dihitung dengan jari dahulu rumah limas merupakan kebanggaan pemiliknya karena dari bentuk rumah orang akan tau siapa pemilik rumah tersebut.
Pendengar bangka belitung dulu merupakan bagian dari provinsi sumatra selatan di bawah kesultanan palembang. sehingga kebudayan dan bentuk rumah adat di bangka ada kemiripan dengan palembang.
sesuai dengan namanya Rumah panggung limas berbentuk panggung dan atapnya berbentuk limas terbuat dari kayu yang kuat seperti kayu nyato salah satu kayu yang berkualitas di bangka belitung.sedangkan di daerah palembang kayu bulian.
Pendengar sebelum indonesia merdeka rumah panggung masih banyak namun sekarang jarang sekali di temukan. Hanya beberapa rumah saja yang masih tersisa salah satunya yang berada di desa kota waringin.

RUMAH ADAT BENGKULU (BUBUNGAN LIMA)

Rumah Adat Bengkulu atau Bubungan Lima merupakan rumah adat khas Provinsi Bengkulu.Jenis Rumah Adat Bubungan Lima termasuk jenis rumah panggung. “Bubungan lima” sejatinya merujuk pada atap dari rumah panggung tersebut. Selain “bubungan lima”, rumah panggung khas Bengkulu ini memiliki bentuk atap lainnya, sperti “bubungan limas”“bubungan haji”, dan “bubungan jembatan”. Material utama yang digunakan adalah kayu medang kemuning atau surian balam, yang berkarakter lembut namun tahan lama. Lantainya terbuat dari papan, sementara atapnya terbuat dari ijuk enau atau sirap. Sementara di bagian depan, terdapat tangga untuk naik-turun rumah, yang jumlahnya biasanya ganjil (berkaitan dengan nilai adat).



Menilik sejumlah literatur yang menerangkan tentang rumah adat ini, kesimpulan sementara yang bisa diambil adalah, rumah ini bukanlah jenis tempat tinggal yang umum ditempati masyarakat. Rumah Bubungan Lima (juga jenis rumah adat lainnya di Bengkulu) merupakan rumah dengan fungsi khusus yang digunakan untuk ritus-ritus adat atau acara khusus, seperti penyambutan tamu, kelahiran, perkawinan, atau kematian. Rumah Bubungan Lima, merupakan salah satu prototipe hunian tahan banjir, yang merepresentasikan nilai-nilai kearifan lokal pada masyarakat Bengkulu.


Bagian Atas:

Bagian atas terdiri dari:
  1. Atap, terbuat dari ijuk, bambu, atau seng,
  2. Bubungan, ada beberapa bentuk,
  3. Pacu (plafon), dari papan atau pelupuh,
  4. Peran, balok-balok bagian atas yang menghubungkan tiang-tiang bagian atas,
  5. Kap, kerangka untuk menempel kasau,
  6. Kasau, untuk mendasi reng,
  7. Reng, untuk menempel atap, dan
  8. Listplang, suyuk, penyunting.
Bagian Tengah:

Bagian tengah terdiri dari:

  1. Kusen, kerangka untuk pintu dan jendela,
  2. Dinding, terbuat dari papan atau pelupuh,
  3. Jendela, bentuk biasa dan bentuk ram,
  4. Pintu, bentuk biasa dan bentuk ram,
  5. Tulusi (lubang angin), ventilasi, biasanya di atas pintu dan jendela, dibuat dengan berbagai ragam hias,
  6. Tiang penjuru,
  7. Piabung, tiang penjuru halaman,
  8. Tiang tengah,
  9. Bendu, balok melintang sepanjang dinding.
Bagian Bawah

Sementara bagian bawah, terdiri dari:

  1. Lantai, dari papan, bambu, atau pelupuh,
  2. Geladak, dari papan 8 dim dengan lebar 50cm, dipasang sepanjang dinding luar di atas balok,
  3. Kijing, penutup balok pinggir dari luar, sepanjang keliling dinding,
  4. Balok (besar), kerangka untuk lantai yang memanjang ke depan,
  5. Tailan, balok sedang yang berfungsi sebagai tempat menempelkan lantai,
  6. Blandar, penahan talian, melintang,
  7. Bedu, balok diatas sebagai tempat meletakkan rel,
  8. Bidai, bamboo tebal yang dipasang melintang dari papan lantai, untuk mempertahankan dari tusukan musuh dari bawah rumah,
  9. Pelupuh kamar tidur, sejajar dengan papan lantai (di atas bidai),
  10. Lapik tiang, batu pondasi tiang rumahtiang rumah,
  11. Tangga depan dan belakang.


Susunan Ruang dan Fungsinya
Susunan ruang Rumah Bubungan Lima (dan rumah panggung Melayu Bengkulu umumnya) beserta fungsinya, adalah sebagai berikut: 


  • Berendo
Tempat menerima tamu yang belum dikenal, atau tamu yang hanya menyampaikan suatu pesan (sebentar). Selain itu juga dipergunakan untuk bersantai pada pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo juga sering dipergunakan untuk bermain congkak, karet, dan lain-lain.

  • Hall
Ruang untuk menerima tamu yang sudah dikenal baik, keluarga dekat, atau orang yang disegani. Ruangan ini juga digunakan untuk tempat cengkrama keluarga pada malam hari, ruangan belajar bagi anak-anak, dan sewaktu-waktu ruang ini digunakan untuk selamatan atau mufakat sanak famili.

  • Bilik Gedang
Bilik gedang atau bilik induk merupakan kamar tidur bagi kepala keluarga (suami istri) serta anak-anak yang masih kecil.

  • Bilik Gadis

Biasanya terdapat pada keluarga yang memiliki anak gadis, merupakan kamar bagi Si Anak Gadis. Selain uantuk tidur juga digunakan untuk bersolek. Bilik gadis biasanya berdampingan dengan bilik gedang, demi keamanan dan kemudahan pengawasan terhadap anak gadis mereka.


  • Ruang Tengah
Biasanya dikosongkan dari perabot rumah, dan di sudutnya disediakan beberapa helai tikar bergulung karena fungsi utamanya adalah untuk menerima tamu bagi ibu rumah tangga atau keluarga dekat bagi si gadis. Di samping itu juga sering dipakai sebagai tempat belajar mengaji. Bagi keluarga yang tidak memilki kamar bujang tersendiri, kadang-kadang dipakai untuk tempat tidur anak bujang.

  • Ruang Makan
Tempat makan keluarga. Pada rumah kecil biasanya tidak terdapat ruang makan, mereka makan di ruang tengah. Bila ada tamu bukan keluarga dekat, maka untuk mengajak tamu makan bersama digunakan hal, bukan di ruang makan.

  • Garang
Tempat penyimpanan tempayan air atau gerigik atau tempat air lainnya, juga dipakai untuk tempat mencuci piring dan mencuci kaki sebelum masuk rumah atau dapur

  • Dapur
Ruangan untuk memasak

  • Berendo Belakang

Serambi belakang, tempat bersantai bagi kaum wanita pada siang atau sore hari, melepas lelah setelah mengerjakan tugas, tempat mengobrol sambil mencari kutu.

Selain Rumah Bubungan Lima, di Provinsi Bengkulu juga terdapat rumah adat yang lain seperti Rumah Umeak Potong Jang, Rumah Kubung Beranak, Rumah Patah Sembilan, dan lain sebagainya. 

Rumah Adat Lampung (NUWOU SESAT)

Bangunan Nuwou Sesat atau Rumah Adat Lampung ini umumnya terdiri dari bangunan tempat tinggal disebut Lamban, Lambahana atau Nuwou, bangunan ibadah yang disebut Mesjid, Mesigit, Surau, Rang Ngaji, atau Pok Ngajei, bangunan musyawarah yang disebut sesat atau bantaian, dan bangunan penyimpanan bahan makanan dan benda pusaka yang disebut Lamban Pamanohan



Rumah adat orang Lampung biasanya didirikan dekat sungai dan berjajar sepanjang jalan utama yang membelah kampung, yang disebut tiyuh. Setiap tiyuh terbagi lagi ke dalam beberapa bagian yang disebut bilik, yaitu tempat berdiam buway . Bangunan beberapa buway membentuk kesatuan teritorial-genealogis yang disebut marga. Dalam setiap bilik terdapat sebuah rumah klen yang besar disebut nuwou menyanak. Rumah ini selalu dihuni oleh kerabat tertua yang mewarisi kekuasaan memimpin keluarga.

Arsitektur lainnya adalah “lamban pesagi” yang merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk. Rumah ini berasal dari desa Kenali Kecamatan Belalau, Kabupaten Lampung Barat.. Ada dua jenis rumah adat Nuwou Balak aslinya merupakan rumah tinggal bagi para Kepala Adat (penyimbang adat), yang dalam bahasa Lampung juga disebut Balai Keratun. Bangunan ini terdiri dari beberapa ruangan, yaitu Lawang Kuri (gapura), Pusiban (tempat tamu melapor) dan Ijan Geladak (tangga "naik" ke rumah); Anjung-anjung (serambi depan tempat menerima tamu), Serambi Tengah (tempat duduk anggota kerabat pria), Lapang Agung (tempat kerabat wanita berkumpul), Kebik Temen atau kebik kerumpu (kamar tidur bagi anak penyimbang bumi atau anak tertua), kebik rangek (kamar tidur bagi anak penyimbang ratu atau anak kedua), kebik tengah (yaitu kamar tidur untuk anak penyimbang batin atau anak ketiga).

Bangunan lain adalah Nuwou Sesat. Bangunan ini aslinya adalah balai pertemuan adat tempat para purwatin (penyimbang) pada saat mengadakan pepung adat (musyawarah). Karena itu balai ini juga disebut Sesat Balai Agung. Bagian bagian dari bangunan ini adalah ijan geladak (tangga masuk yang dilengkapi dengan atap).
Atap itu disebut Rurung Agung. Kemudian anjungan (serambi yang digunakan untuk pertemuan kecil, pusiban (ruang dalam tempat musyawarah resmi), ruang tetabuhan (tempat menyimpan alat musik tradisional), dan ruang Gajah Merem ( tempat istirahat bagi para penyimbang) . Hal lain yang khas di rumah sesat ini adalah hiasan payung-payung besar di atapnya (rurung agung), yang berwarna putih, kuning, dan merah, yang melambangkan tingkat kepenyimbangan bagi masyarakat tradisional Lampung Pepadun.

Arsitek tradisinoal Lampung lainnya dapat ditemukan di daerah Negeri Olokgading, Teluk Betung Barat, Bandar Lampung. Negeri Olokgading ini termasuk Lampung Pesisir Saibatin .Begitu memasuki Olokgading kita akan menjumpai jajaran rumah panggung khas Lampung Pesisir, dan di sanalah kita akan melihat Lamban Dalom Kebandaran Marga Olokgading, yang menjadi pusat adat istiadat Marga Balak Olokgading. Bangunan ini berbahan kayu dan di depan rumah berdiri plang nama bertuliskan “Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak Lampung Pesisir”. Bentuknya sangat unik dan khas dengan siger besar berdiri megah di atas bangunan bagian muka .
Sampai sekarang lamban dalom ini ditempati kepala adat Marga Balak secara turun temurun.


Meskipun berada di perkotaan, fungsi rumah panggung tidak begitu saja hilang. Lamban Dalom Kebandaran Marga Balak berfungsi sebagai tempat rapat, musyawarah, begawi, dan acara-acara adat lain. Di Lamban Dalom ini ada siger yang berusia ratusan tahun, konon sudah ada sebelum Gunung Krakatau meletus. Siger yang terbuat dari bahan perak ini adalah milik kepala adat dan diwariskan secara turun temurun.Siger ini hanyalah salah satu artefak atau peninggalan budaya yang sudah ratusan tahun usianya disimpan oleh Marga Balak. Selain siger ada juga keris, pedang, tombak samurai, kain sarat( kain khas Lampung Pesisir seperti tapis), terbangan( alat musik pukul seperti rebana), dan tala(sejenis alat musik khas Lampung sejenis kulintang) dan salah satunya dinamakan Talo Balak.

RUMAH ADAT SUMATERA SELATAN (RUMAH GADANG LIMAS)

Rumah Adat Sumatera Selatan atau disebut Rumah Gadang ini merupakan rumah tradisional khas Provinsi Sumatera Selatan. Dari namanya, jelaslah bahwa rumah ini berbentuk limas. Bangunannya bertingkat-tingkat dengan filosofi budaya tersendiri untuk setiap tingkatnya. Tingkat-tingkat ini disebut masyarakat sebagai bengkilas. Apabila Anda bertamu ke salah satu Rumah Limas di wilayah Sriwijaya ini, Anda akan diterima di teras atau lantai dua saja. Rumah Limas sangat luas dan seringkali digunakan sebagai tempat berlangsungnya hajatan atau acara adat. Luasnya mulai dari 400 hingga 1000 meter persegi. Bahan material dalam membuat dinding, lantai, serta pintu menggunakan kayu tembesu. Sementara untuk tiang rumah, pada umumnya menggunakan kayu unglen yang tahan air. Berbeda dengan rangka rumah yang terbuat dari kayu Seru. Kayu ini cukup langka. Kayu ini sengaja tidak digunakan untuk bagian bawah Rumah Limas, sebab kayu Seru dalam kebudayaannya dilarang untuk diinjak atau dilangkahi. Nilai-nilai budaya Palembang juga dapat Anda rasakan dari ornamen ukiran pada pintu dan dindingnya. Selain berbentuk limas, rumah tradisional Sumatera Selatan ini juga tampak seperti rumah panggung dengan tiang-tiangnya yang dipancang hingga ke dalam tanah. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis lingkungannya yang berada di daerah perairan.



Adat yang kental sangat mendasari pembangunan Rumah Limas. Tingkatan yang dimiliki rumah ini disertai dengan lima ruangan yang disebut dengan kekijing. Hal ini menjadi simbol atas lima jenjang kehidupan bermasyarakat, yaitu usia, jenis, bakat, pangkat dan martabat. Detail setiap tingkatnya pun berbeda-beda.
Pada tingkat pertama yang disebut pagar tenggalung, ruangannya tidak memiliki dinding pembatas, terhampar seperti beranda saja. Suasana di tingkat pertama lebih santai dan biasa berfungsi sebagai tempat menerima tamu saat acara adat. Kemudia kita beranjak ke ruang kedua. Jogan, begitu mereka menyebutnya, digunakan sebagai tempat berkumpul khusus untuk pria. Naik lagi ke ruang ketiga yang diberi nama kekijing ketiga. Posisi lantai tentunya lebih tinggi dan diberi batas dengan menggunakan penyekat. Ruangan ini biasanya untuk tempat menerima para undangan dalam suatu acara atau hajatan, terutama untuk handai taulan yang sudah separuh baya. Beranjak ke kekijing keempat, sebutan untuk ruang keempat, yang memiliki posisi lebih tinggi lagi. Begitu juga dengan orang-orang yang dipersilakan untuk mengisi ruangan ini pun memiliki hubungan kekerabatan lebih dekat dan dihormati, seperti undangan yang lebih tua, dapunto dan datuk. Nah, ruang kelima yang memiliki ukuran terluas disebut gegajah. Didalamnya terdapat ruang pangkeng, amben tetuo, dan danamben keluarga. Amben adalah balai musyawarah. Amben tetuo sendiri digunakan sebagai tempat tuan rumah menerima tamu kehormatan serta juga menjadi tempat pelaminan pengantin dalam acara perkawinan. Dibandingkan dengan ruang lainnya, gegajah adalah yang paling istimewa sebab memiliki kedudukan privasi yang sangat tinggi. Begitulah setiap ruang dan tingkatan Rumah Limas yang memiliki karakteristiknya masing-masing.

Garis Keturunan

Tingkat atau kijing yang dimiliki Rumah Limas menandakan garis keturunan asli masyarakat palembang. Dalam kebudayaannya, dikenal tiga jenis garis keturunan atau kedudukan seseorang, yaituKiagus, Kemas dan atau Massagus, serta Raden. Tingkatan atau undakannya pun demikian. Yang terendah adalah tempat berkumpul golongan Kiagus. Selanjutnya, yang kedua diisi oleh garis keturunan Kemas dan atau Massagus. Kemudia yang ketiga, diperuntukkan bagi golongan tertinggi yaitu kaum Raden.

Di sisi lain, hiasan atau ukiran yang ada di dalam Rumah Limas pun memiliki simbol-simbol tertentu. Jika Anda melihat dengan seksama ke dalamnya, akan terlihat ornamen simbar atau tanduk pada bagian atas atap. Simbar dengan hiasan Melati melambangkan mahkota yang bermakna kerukunan dan keagungan rumah adat ini. Tanduk yang menghiasi atap juga bermakna tertentu sesuai dengan jumlahnya.

Saat ini pembangunan Rumah Limas Sumatera Selatan sudah jarang dilakukan. Luas wilayahnya memakan biaya yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan membangun rumah tempat tinggal biasa. Namun jangan khawatir, Anda dapat berkunjung ke Rumah Limas milik keluarga Bayuki Wahab di Jl. Mayor Ruslan dan Hasyim Ning di Jl. Pulo, 24 Ilir, Palembang. Di sini, Anda akan merasakan seperti berada di masa lalu dengan nuansa rumah adat yang sangat kental pengaruh budayanya.

RUMAH ADAT SUMATERA BARAT (RUMAH GADANG)

Disalah satu provinsi di negara Indonesia ini terdapat rumah adat yang mungkin menurut pembaca aneh dalam bentuk bangunannya. Rumah Gadang atau Rumah Godang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain oleh masyarakat setempat dengan nama Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjung.

Rumah dengan model ini juga banyak dijumpai di Negeri Sembilan, Malaysia. Namun demikian tidak semua kawasan di Minangkabau (darek) yang boleh didirikan rumah adat ini, hanya pada kawasan yang sudah memiliki status sebagai nagari saja Rumah Gadang ini boleh didirikan. Begitu juga pada kawasan yang disebut dengan rantau, rumah adat ini juga dahulunya tidak ada yang didirikan oleh para perantau Minangkabau.


                                                                        
Asal-usul rumah Gadang
Bentuk atap rumah gadang yang seperti tanduk kerbau sering dihubungkan dengan cerita Tambo Alam Minangkabau. Cerita tersebut tentang kemenangan orang Minang dalam peristiwa adu kerbau melawan orang Jawa.
Bentuk-bentuk menyerupai tanduk kerbau sangat umum digunakan orang Minangkabau, baik sebagai simbol atau pada perhiasan. Salah satunya pada pakaian adat, yaitu tingkuluak tanduak (tengkuluk tanduk) untuk Bundo Kanduang.
Asal-usul bentuk rumah gadang juga sering dihubungkan dengan kisah perjalanan nenek moyang Minangkabau. Konon kabarnya, bentuk badan rumah gadang Minangkabau yang menyerupai tubuh kapal adalah meniru bentuk perahu nenek moyang Minangkabau pada masa dahulu. Perahu nenek moyang ini dikenal dengan sebutan lancang.
Menurut cerita, lancang nenek moyang ini semula berlayar menuju hulu Batang Kampar. Setelah sampai di suatu daerah, para penumpang dan awak kapal naik ke darat. Lancang ini juga ikut ditarik ke darat agar tidak lapuk oleh air sungai.
Lancang kemudian ditopang dengan kayu-kayu agar berdiri dengan kuat. Lalu, lancang itu diberi atap dengan menggantungkan layarnya pada tali yang dikaitkan pada tiang lancang tersebut. Selanjutnya, karena layar yang menggantung sangat berat, tali-talinya membentuk lengkungan yang menyerupai gonjong. Lancang ini menjadi tempat hunian buat sementara. Selanjutnya, para penumpang perahu tersebut membuat rumah tempat tinggal yang menyerupai lancang tersebut. Setelah para nenek moyang orang Minangkabau ini menyebar, bentuk lancang yang bergonjong terus dijadikan sebagai ciri khas bentuk rumah mereka. Dengan adanya ciri khas ini, sesama mereka bahkan keturunannya menjadi lebih mudah untuk saling mengenali. Mereka akan mudah mengetahui bahwa rumah yang memiliki gonjong adalah milik kerabat mereka yang berasal dari lancang yang sama mendarat di pinggir Batang Kampar.


Struktur Rumah Gadang
Sistem struktur dan arsitektur rumah gadang, tidak hanya indah, tapi adalah sebuah sintesa. Semua itu didapat dari alam. Di alam, misalnya, tidak ada garis lurus, hal itu diadopsi rumah gadang rumah gadang dibangun berangkat dari filosofi adat Minangkabau yang berguru pada alam.

Pertama, rumah gadang menggunakan sistem pasak, tidak dipaku mati. Hal ini membuat strukturnya akan ikut bergoyang elastis mengikuti gerakan, bila gempa terjadi, namun tidak terlepas."

Di bagian bawah, tiang rumah gadang tidak langsung terhubung ke tanah. "Di bawah tiang ada batu sandi, yang akan meredam getaran dari bawah saat terjadi gempa," kata Dahrizal yang akrab dipanggil Mak Katik ini.

Pada bagian atas, menurutnya, atap rumah gadang terbuat dari bahan ijuk yang ringan. "Sehingga, mengurangi beban berat bagi bangunan. Sekarang banyak yang mengganti dengan seng, yang juga relatif ringan. Tapi, tidak ada rumah gadang yang beratap genteng yang berat," kata Mak Katik.

Senada dengan itu, peneliti konstruksi rumah gadang Darmansyah mengatakan, rumah gadang aman dari gempa karena sistem material dan sistem konstruksinya yang terukur.

Dari sisi materialnya, rumah gadang dibuat dari kayu-kayu terpilih yang cocok. Tiang dibuat dari kayu yang keras, kuat dan tahan lama. Begitupun untuk dinding, kuda-kuda dan atap dipilih dari bahan yang baik dan tersedia di Minangkabau


Fungsi Rumah Gadang
Fungsi dari Rumah Gadang itu sendiri adalah sebagai tempat tinggal dan tempat acara adat. Ukuran ruang tergantung dari banyaknya penghuni di rumah itu. Namun, jumlah ruangan biasanya ganjil, seperti lima ruang, tujuh, sembilan atau lebih. Sebagai tempat tinggal, rumah gadang mempunyai bilik-bilik dibagian belakang yang didiami oleh wanita yang sudah bekeluarga, ibu-ibu, nenek-nenek dan anak-anak.

Fungsi rumah gadang yang juga penting adalah sebagai iringan adat, seperti menetapkan adat atau tempat melaksanakan acara seremonial adat seperti kematian, kelahiran, perkawinan, mengadakan acara kebesaran adat, tempat mufakat dan lain-lain. Perbandingan ruang tempat tidur dengan ruang umum adalah sepertiga untuk tempat tidur dan dua pertiga untuk kepentingan umum. Pemberian ini memberi makna bahwa kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi.


SahabatQ

Like Facebokk Friends

ProfilQ

VERDA CANTIKA.PSH

Masih Sekolah di SMPN 1 ploso Jombang dr keluarga 3 bersaudara :adik Rindu masih kelas 4 SDN Kedungrejo dn adik Livi masih kecil umur 2,5 th kami keluarga bahagia yg saling menyayangi dn mengasihi sekian Trimksh Lihat Lengkap ProfilQ