Ahh, pagi yang indah dimana aku masih bisa melihat matahari terbit di ufuk timur. Aku bersyukur masih bisa menikmati udara yang segar di pagi ini, untaian mutiara bening di setiap hijaunya dedaunan memantulkan indahnya sinar mentari. Sekali lagi aku bersyukur, di usiaku yang tak lagi muda ini aku masih bisa merasakan nikmat dan keindahan yang Tuhan berikan kepadaku.
Namun aku tak boleh terlena oleh sejenak keindahan ini, sebentar lagi aku harus bertaruh nasib mencari makan di puncak gunung itu. Aku tak tahu kapan gunung itu mulai ada. sejak aku dilahirkan, orang tuaku sudah biasa mengajakku untuk meniti jalan terjal mengais sisa kehidupan di gunung itu. Disanalah aku tumbuh dan mencari makan. Kurasakan hari demi hari gunung itu semakin bertambah tinggi dan besar. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja, mungkin karena aku sudah terlalu tua untuk mendaki ke atas sana. Namun mau bagaimana lagi, kaki ini terpaksa harus melangkah menapaki kerasnya alam agar aku tetap hidup.
***
Mentari mulai membumbung tinggi, kini tiba bagiku untuk berjalan kesana. Mengais keberuntungan dari sisa-sisa kehidupan. Berat rasanya kaki ini untuk melangkah, namun mau tidak mau aku harus kesana, itu adalah pilihan terakhir agar aku tetap hidup. Berat memang, aku menyadarinya, bahkan bisa dikatakan mustahil. Kulangkahkan kaki ini selangkah demi selangkah, berharap ada sedikit rizky untuk makanku hari ini. Aku biasa berada di puncak sana, menantikan kebaikan hati orang yang lalu lalang disana. Mungkin bagi mereka adalah sisa yang tak berguna, mereka memang tak lagi membutuhkannya, namun bagiku itu adalah rizky yang sangat luar biasa.
Tak terasa sampai sudah kaki ini di tempat biasa aku menunggu. Ku pandangi setiap orang yang melangkah di depanku, berharap ada yang melemparkan sebuah rizky untuk ku hari ini. Detik demi detik, menit demi menit, akhirnya ada seseorang yang melemparkan sebuah bungkus snack. Ya itu adalah chitos, makanan kesukaanku, sejenis kentang yang telah diubah menjadi seperti kerupuk,aku berharap ada sisa di bungkus itu untuk aku makan. Bungkus chitos itu melayang jatuh tak jauh dari tempatku berdiri. Bergegas aku kesana dan masuk untuk memriksa dalamnya. Ah, mungkin kali ini aku kurang beruntung, tak ada sedikitpun sisa didalamnya, mungkin sudah terbang tertiup angin saat bungkus itu melayang di udara tadi. Bagi semut sepertiku, tak mudah memang mencari makan. Aku harus mengais sisa makanan yang dibuang oleh manusia.
Kalian tahu gunung yang aku ceritakan tadi? Itu merupakan gunungan sampah yang setiap hari manusia lemparkan di tempat ini. Aku tak tahu siapa yang memulainya, tapi ini adalah tempat dimana aku bisa mendapatkan makanan. Tak lama kemudian ada seseorang yang melemparkan bungkus coklat ke arahku. Ya, tak lama memang, mungkin sekitar 10 menit setelah orang yang melemparkan bungkus chitos tadi. Kali ini aku lebih beruntung, ada beberapa sisa coklat yang masih menempel dibungkus itu. Aku duduk di sana sembari menikmati coklat yang ada.
Belum habis aku menikmati coklat di hadapanku ini, Datanglah seorang anak kecil bebalutkan pampers di pingangnya, berjalan dengan sebuah plastik bekas bungkus makanan ringan di tanggannya, ia mencoba untuk membuangnya disini. Ia masih sangat kecil, masih sangat polos untuk mengerti apakah yang ia lakukan benar atau tidak.
“jangan nak, jangan buang bungkus itu disini, engkau akan menyakitiku” tiba-tiba terdengar suara dari sekitar ku. Betapa terkejutnya aku, oh bukan, bukan terkejut, ini hanya sejenis rasa kaget yang berlebihan. Suara tersebut datang dari tanah yang ada di bawah sana. Benda mati yang selama ini aku anggap tak bernyawa.
Tampak anak itupun juga sama sepertiku, ia tak menduga bahwa tanah yang diinjaknya ternyata bernyawa. Ia bingung tak mengerti dengan ucapat sang tanah, ia menoleh kebelakang menatap kedua orang tuanya yang seolah berkata “ayo nak, buanglah sampah itu dasana, ayo cepat buang”. Ahh ia masih sangat polos untuk mengerti semua ini dan ia tak mengerti apa yang ia lakukan.
“Nak, tahukah kamu, dahulu pernah ada masa dimana aku Berjaya. Masa dimana aku masih sehat dan mampu menopang segala kehidupan di tubuhku. Masa dimana ditubuhku ini tumbuh berbagai jenis tumbuhan, disana kau bisa melihat bagaimana bahagianya mereka hidup di atasku. Rimbunnya pohon dan hijaunya ruput pernah hidup di tubuhku. Namun sekarang, lihatlah teman, tak setangkai rumputpun mampu hidup ditubuhku. Aku mulai kotor, tubuhku lemah dan tak berdaya. Semua perih yang teman-temanmu engkau berikan lewat sampah-sampah itu tak mampu aku terima. Semua yang kau berikan ibarat racun yang menyatu dengan tubuhku membuat tak satupun makhluk hidup sudi menginjakku.” Lanjut sang tanah.
“Lihatlah engkau, betapa sedinya sahabatku. Ia seharusnya tampak jernih dan segar. Ia lah yang selalu bersamaku menjadika tempat ini surga hijau nan indah. Ia seharusnya berjalan memberikan kehidupan bagi setiap yang dilewatinya. Namun kini dia sama denganku, lemas, kusut tak berdaya. Bahkan untuk mengalirpun dia enggan, dia tak ingin mematikan semua yang dia lewati. Tubuhnya kini penuh dengan luka tak berbekas yang menjadikannya racun bernyawa yang meracuni segala kehidupan. Ia adalah air yang seharusnya member kehidupan, bukan kematian” Lanjut sang tanah bercerita tentang sahabatnya kepada anak itu.
“benar nak apa yang dikatakan tanah tadi, aku mengerti segala penderitaan yang ia rasakan, segala penderitaan temannya dan semua yang pernah hidup di tubuhnya ini. Semua karena aku disini, aku tak mengerti mengapa aku tercipta di dunia ini, dan aku tak mengerti kenapa aku harus ada disini. Aku tak berniat menyakitinya, menyakiti temannya dan semua kehidupan ini. Andai aku hidup aku akan bertanya kepada manusia teman-temanmu itu, mengapa mereka menciptakanku. Dan aku akan berdoa kepada Tuhan agar aku ditiadakan dari muka bumi. Namun apa? Aku hanya seonggok benda mati yang dianggap tak berguna oleh manusia. Sejujurnya aku benci menjadi diriku, andai aku bisa bertukar dengan manusia, mungkin mereka akan tahu bagaimana penderitaanku, dan penderitaannya beserta teman-temannya disini.” Ternyata samapah yang aku duduki inipun dapat berbicara. Sekali lagi aku terkejut.
Aku hanya diam dan menghabiskan coklat yang ada di hadapanku ini sembari mendengarkan obrolan diantara mereka. Mungkin mereka tak sadar akan keberadaanku disini. Kuliah anak itu semakin bingung tak mengerti mengenai apa yang baru ia dengar. Masih sangat polos, sangat polos untuk mengerti semuanya.
“Nak, jangan buang sampah itu disini, tidakkah engkau lihat tubuhku sudah penuh dengan sampah akibat ulah teman-temanmu. Apakah kau tega menyakitiku? Barang yang engkau pegang itu akan menyakitiku jika engkau membuangnya disini. Tak kan ada lagi keindahan di tubuhku. Kembalilah nak ke orang tuamu disana. Suruh mereka untuk membuangnya di tempat yang tepat, tapi bukan disini nak. Aku tahu engkau tak mengerti dengan apa yang aku ucapkan. Namun ku mohon, kembalilah kau kesana, bawa kembali apa yang ada ditanganmu itu”
Anak itupun beranjak membalikkan langkahnya kembali ke orang tuanya tanpa mengerti apa yang barusaja ia dengar. ia berjalan menatap orangtuanya dengan raut muka bingung dan tak mengerti apa-apa, sesekali ia menoleh ke setumpuk sampah di pojok tadi. Orangtuanya Nampak bingung dengan anaknya, mereka tak mengerti apa yang anaknya lalukan.
Sesampai anak itu kepada orang tuanya, ia mengembalikan yang ada ditangannya kepada mereka. Alangkah bodohnya mereka, mereka tak mengerti kenapa anaknya mengembalikannya. Merekapun membuang bungkus itu ditempat tadi. Betapa sakitnya perasaan sang tanah, seorang anak kecil menuruti apa yang ia katakana namun orang dewasa justru tak mengerti tentang keadaannya yang jelas-jelas sudah Nampak sakit. Sang anak hanya bisa melihat bingung, ia tak mengerti mana yang benar. Dibopongnya anak tersebut oleh orang tuanya, ia terus saja melihat kearah dimana orang tuanya membuang sampah tadi. Meski ia tak mengerti dan terlihat bingung, namun ia mampu merasakan apa yang dirasakan oleh tanah dan teman-temannya disana.
“nak, belajarlah memahami kami, suatu saat kau akan mengerti. Aku yakin, kelak engkau akan menjadi seorang yang peduli akan nasib kami. Semoga kita bertemu kembali nak. Selamatkan kami disini” terdengar harapan lirih dari sang tanah terhadap anak itu.
Nampaknya aku terlalu larut dalam drama percakapan mereka, hingga tanpa kusadari sebuah botol minuman bersoda telah melayang menuju kearahku. Entah siapa yang melemparnya, tak jelas dan tak sempat aku melihatnya. Botol itu sudah terlalu dekat denganku. Aku pasrah. “Tuhan, mungkin ini waktunya aku pergi, ijinkan aku kesurga, mengawal sebuah harapan muliah dari bumi agar sampai kepada-MU.” Tubuhku hancur seketika terkena lemparan botol itu. Aku pergi mengiringi sebuah harapan, harapan mulia dari sang tanah. Menjaganya menuju surga, menuju hadapan TUHAN.
Inilah sepenggal kisah hidupku, sepenggal kisah tentangku di gunung sampah yang biasa aku sebut sebagai tempatku mencari makan. Sepengal kisah sederhana, namun semoga bermakna. Jagalah bumi ini, jagalah ala mini. Biarkan ia tetap lestari.
-TAMAT-