NEWS UPDATE :
Tampilkan postingan dengan label Kolonialisme Dan Imperialisme Barat Di Indonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kolonialisme Dan Imperialisme Barat Di Indonesia. Tampilkan semua postingan

Politik Etis atau Politik Balas Budi


Politik Etis atau Politik Balas Budi adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi. Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa.

Munculnya kaum Etis yang di pelopori oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang terbelakang.

Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld) terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda.

Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias Van deventer yang meliputi:

1).   Irigasi (pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk keperluan pertanian
2).   Emigrasi yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
3).   Edukasi yakni memperluas dalam bidang pengajaran dan pendidikan

Banyak pihak menghubungkan kebijakan baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal sebagai pencetus politik etis ini.

Politik  ini dikenal dengan politik etis atau politik  balas budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer.

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan yang diajukan oleh van Deventer tersebut baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya terjadi penyimpangan-penyimpangan  yang dilakukan  oleh para pegawai Belanda.

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan tersebut.
1)    Irigasi
       Pengairan (irigasi) hanya ditujukan kepada tanah-tanah yang subur untuk perkebunan swasta Belanda. Sedangkan milik rakyat tidak dialiri air dari irigasi.

2)    Edukasi
       Pemerintah Belanda membangun sekolah-sekolah. Pendidikan  ditujukan  untuk mendapatkan tenaga administrasi yang cakap dan murah. Pendidikan yang dibuka untuk  seluruh rakyat, hanya diperuntukkan kepada anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang mampu. Terjadi diskriminasi pendidikan yaitu pengajaran di sekolah kelas I untuk anak-anak pegawai negeri dan orang-orang yang berharta, dan di sekolah kelas II kepada anak-anak pribumi  dan pada umumnya.

3)    Migrasi
       Migrasi ke daerah luar Jawa hanya ditujukan  ke daerah-daerah yang dikembangkan perkebunan-perkebunan milik  Belanda. Hal ini karena adanya permintaan yang besar akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan seperti perkebunan di Sumatra Utara, khususnya di Deli, Suriname, dan lain-lain. Mereka dijadikan kuli kontrak. Migrasi ke Lampung mempunyai  tujuan menetap. Karena migrasi ditujukan  untuk  memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja, maka tidak jarang banyak yang melarikan diri.

Untuk mencegah agar pekerja tidak melarikan diri, pemerintah Belanda mengeluarkan Poenale sanctie, yaitu peraturan yang menetapkan bahwa pekerja yang melarikan diri akan dicari dan ditangkap polisi, kemudian dikembalikan kepada mandor/pengawasnya.

Sumber: Indonesia Abad ke-20 jilid I, 1998

Pelaksanaan politik etis bukannya tidak mendapat kritik. Kalangan Indo, yang secara sosial adalah warga kelas dua namun secara hukum termasuk orang Eropa merasa ditinggalkan. Di kalangan mereka terdapat ketidakpuasan karena pembangunan lembaga-lembaga pendidikan hanya ditujukan kepada kalangan pribumi (eksklusif). Akibatnya, orang-orang campuran tidak dapat masuk ke tempat itu, sementara pilihan bagi mereka untuk jenjang pendidikan lebih tinggi haruslah pergi ke Eropa, yang biayanya sangat mahal.

Ernest Douwes Dekker termasuk yang menentang ekses pelaksanaan politik ini karena meneruskan pandangan pemerintah kolonial yang memandang hanya orang pribumilah yang harus ditolong, padahal seharusnya politik etis ditujukan untuk semua penduduk asli Hindia Belanda (Indiers), yang di dalamnya termasuk pula orang Eropa yang menetap (blijvers).

Politik Pintu Terbuka


Politikus liberal yang saat itu berkuasa di Belanda tidak setuju dengan Tanam Paksa di Jawa dan ingin membantu penduduk Jawa sambil sekaligus mengambil keuntungan ekonomi dari tanah jajahan dengan mengizinkan berdirinya sejumlah perusahaan swasta.

Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia  Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki  taraf kehidupan  rakyat Indonesia. Maka tahun 1870 dikeluarkan  Undang-Undang Agraria.

Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1)    pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta
2)    pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun

Tujuan dikeluarkannya UU Agraria 1870
1.    Melindungi hak milik petani atas tanahnya dari penguasa dan pemodal asing (tidak dijual).
2.    Memberi kesempatan kepada swasta asing (Belanda) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia
3.    Memberi peluang kepada pemodal asing (seperti dari Inggris, Belgia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, dll) untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia.
4.    Membuka kesempatan kerja kepada penduduk untuk menjadi buruh perkebunan.

UU Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik  pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing.

Pemerintah Belanda juga mengeluarkan Undang-Undang  Gula (Suiker Wet) tahun 1870. Tujuannya adalah untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada para pengusaha perkebunan gula.

Isi dari UU Gula:
1)    perusahaan-perusahaan gula milik  pemerintah akan dihapus secara bertahap, dan
2)    pada tahun 1891 semua perusahaan gula milik  pemerintah harus sudah diambil alih oleh swasta.

Dengan adanya UU Agraria dan UU Gula tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan.

Berikut ini beberapa perkebunan asing yang muncul.
1)    Perkebunan tembakau di Deli, Sumatra Utara.
2)    Perkebunan tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
3)    Perkebunan kina di Jawa Barat.
4)    Perkebunan karet di Sumatra Timur.
5)    Perkebunan kelapa sawit di Sumatra Utara.
6)    Perkebunan teh di Jawa Barat dan Sumatra Utara.

Politik pintu terbuka yang diharapkan dapat memperbaiki kesejahteraan rakyat, justru membuat rakyat semakin menderita. Eksploitasi terhadap sumber-sumber pertanian maupun tenaga manusia semakin hebat. Rakyat semakin menderita dan sengsara.

Adanya UU Agraria memberikan pengaruh bagi kehidupan rakyat, seperti berikut.
1)    Dibangunnya fasilitas perhubungan dan irigasi pada perkebunan.
2)    Rakyat menderita dan miskin.
3)    Rakyat mengenal sistem upah dengan uang, juga mengenal barang-barang ekspor dan impor.
4)    Timbul  pedagang perantara. Pedagang-pedagang tersebut pergi ke daerah pedalaman, mengumpulkan  hasil pertanian dan menjualnya kepada grosir.
5)    Industri  atau usaha pribumi  mati karena pekerja-pekerjanya banyak yang pindah bekerja di perkebunan dan pabrik-pabrik asing.

Dampak dikeluarkannya UU Agraria dan UU Gula antara lain perkebunan diperluas, baik di Jawa maupun diluar pulau Jawa. seperti di Sumatera.

Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa


Jatuhnya kaum liberal di Parlemen Belanda menyebabkan pemerintahan didominasi  kaum konservatif. Gubernur Jenderal van der Capellen digantikan oleh Gubernur Jenderal van den Bosch, 16 Januari 1830.

Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki  arti sistem tanam.

Cultuurstelsel disebut juga Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, lada, kina, dan tembakau.dan tarum (nila).

Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan.

Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.

Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.

Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.

Cultuurstelsel diberlakukan  dengan  tujuan  memperoleh pendapatan sebanyak mungkin dalam waktu relatif singkat. Dengan harapan utang-utang Belanda yang besar dapat diatasi. Berikut ini pokok-pokok  cultuurstelsel.

Pokok-Pokok Sistem Tanam Paksa
1)    Rakyat wajib menyiapkan 1/5 dari lahan garapan untuk ditanami tanaman wajib.
2)    Lahan tanaman wajib bebas pajak, karena hasil yang disetor sebagai pajak.
3)    Setiap kelebihan hasil panen dari jumlah pajak akan dikembalikan.
4)    Tenaga dan waktu  yang diperlukan  untuk  menggarap tanaman wajib, tidak  boleh melebihi waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
5)    Rakyat yang tidak  memiliki  tanah wajib bekerja selama 66 hari dalam setahun di perkebunan atau pabrik milik  pemerintah.
6)    Jika terjadi kerusakan atau gagal panen, menjadi tanggung jawab pemerintah.
7)    Pelaksanaan tanam paksa diserahkan sepenuhnya kepada para penguasa pribumi (kepala desa).

Sumber: Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500 - 1900, 1999

Untuk  mengawasi pelaksanaan tanam paksa, Belanda menyandarkan pada sistem tradisional  dan feodal. Para bupati dipekerjakan sebagai mandor/pengawas dalam tanam paksa. Para bupati  sebagai perantara tinggal meneruskan perintah dari pejabat Belanda.

Kalau melihat pokok-pokok cultuurstelsel dilaksanakan dengan semestinya merupakan aturan yang baik. Namun praktik di lapangan jauh dari pokok-pokok tersebut atau dengan kata lain terjadi penyimpangan.

Penyimpangan ini terjadi karena penguasa lokal, tergiur oleh janji Belanda yang menerapkan sistem cultuur procenten.  Cultuur procenten = prosenan tanaman adalah hadiah dari pemerintah bagi penguasa pribumi / kepala desa yang dapat menyerahkan hasil panen melebihi target dengan tepat waktu.

Berikut ini penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam sistem tanam paksa.
1)    Tanah yang harus diserahkan rakyat cenderung melebihi dari ketentuan 1/5.
2)    Tanah yang ditanami tanaman wajib tetap ditarik  pajak
3)    Rakyat yang tidak punya tanah garapan ternyata bekerja di pabrik atau perkebunan lebih dari 66 hari atau 1/5 tahun.
4)    Kelebihan hasil tanam dari  jumlah  pajak ternyata tidak dikembalikan.
5)    Jika terjadi gagal panen ternyata ditanggung  petani.

Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah.

Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.

Sistem Tanam Paksa ini benar-benar dapat menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan  negeri Belanda, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Bagi rakyat di Pulau Jawa, sistem tanam paksa dirasakan sebagai bentuk penindasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Rakyat menjadi melarat dan menderita. Terjadi kelaparan yang menghebat di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849). Kelaparan mengakibatkan kematian penduduk  meningkat.

Adanya berita kelaparan menimbulkan  berbagai reaksi, baik dari rakyat Indonesia maupun orang-orang Belanda. Rakyat selalu mengadakan perlawanan tetapi tidak pernah berhasil, karena bergerak sendiri-sendiri  secara sporadis dan tidak  terorganisasi secara baik.

Reaksi dari Belanda sendiri yaitu adanya pertentangan dari golongan liberal dan humanis terhadap pelaksanaan sistem tanam paksa yang dianggap berakibat menyengsarakan rakyat jajahan.

Masyarakat di negeri Belanda merasa malu dihadapan masyarakat eropa lain, bahwa kemakmuran yang mereka capai diperoleh dari kesengsaraan rakyat jajahan.

Pada tahun 1860, Edward Douwes Dekker yang dikenal dengan nama samaran Multatuli menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Max Havelar”. Buku ini berisi tentang keadaan pemerintahan kolonial  yang bersifat menindas dan korup di Jawa.

Di samping Douwes Dekker, juga ada tokoh lain yang menentang tanam paksa yaitu  Baron van Hoevel, dan Fransen van de Putte yang menerbitkan artikel  “Suiker Contracten” (perjanjian gula).

Menghadapi berbagai reaksi yang ada, pemerintah Belanda mulai menghapus sistem tanam paksa, namun secara bertahap. Sistem tanam paksa secara resmi dihapuskan pada tahun 1870 berdasarkan UU Landreform (UU Agraria), yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Meskipun Tanam Paksa sangat memberatkan rakyat, namun di sisi lain juga memberikan pengaruh yang positif  terhadap rakyat, yaitu:
1)    terbukanya lapangan pekerjaan,
2)    rakyat mulai mengenal tanaman-tanaman baru
3)    rakyat mengenal cara menanam yang baik

Kekuasaan Kolonial Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia


Keadaan Perang Koalisi di Eropa tahun 1814 mulai terbalik. Prancis mulai terdesak dalam perang, bahkan Napoleon berhasil ditangkap. Kekalahan Prancis dalam Perang Koalisi menyebabkan Belanda sudah tidak  lagi berada di bawah pengaruh Prancis.

Hubungan  antara Belanda dan Inggris  yang sebelumnya bermusuhan (Belanda menjadi jajahan Prancis sehingga harus menjadi sekutu Prancis) mulai  membaik.

Untuk  menyelesaikan permasalahan, Inggris dan Belanda pada tahun 1814 mengadakan suatu pertemuan yang menghasilkan suatu kesepakatan yang dinamakan Konvensi London  1814 (Convention of London 1814). Konvensi tersebut berisi:

1.    Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut  Inggris, dan
2.    Indonesia juga harus diserahkan kembali kepada Belanda.

John Fendall menyerahkan kekuasaan wilayah  Indonesia ke pihak Belanda, dan diterima  oleh sebuah komisi jenderal. Komisi jenderal ini terdiri atas tiga orang yaitu Mr. Elout, van der Capellen, dan Buyskes.

Tugas komisi jenderal sangat berat yaitu dituntut memperbaiki sistem politik  dan ekonomi. Sejak saat itu, Indonesia berada di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial  Belanda denganVan der Capellen diangkat sebagai Gubernur Jenderal

Sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen masa itu menghadapi tantangan  seperti:
1.    menghadapi perekonomian yang buruk,
2.    persaingan perdagangan dengan Inggris, dan
3.    sikap bangsa Indonesia yang memusuhi Belanda.


Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda
a. Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa
Gubernur Jenderal van den Bosch, menerapkan kebijakan politik dan ekonomi konservatif di Indonesia.

Pada tahun 1830 mulai diterapkan aturan kerja rodi (kerja paksa) yang disebut Cultuurstelsel. Cultuurstelsel dalam bahasa Inggris adalah Cultivation System yang memiliki  arti sistem tanam.

b. Politik Pintu Terbuka
Pada tahun 1860-an politik batig slot (mencari keuntungan besar) mendapat pertentangan dari golongan liberalis dan humanitaris. Kaum liberal dan kapital memperoleh kemenangan di parlemen. Terhadap tanah jajahan (Hindia  Belanda), kaum liberal berusaha memperbaiki  taraf kehidupan  rakyat Indonesia. Maka tahun 1870 dikeluarkan  Undang-Undang Agraria.

Pokok-pokok UU Agraria tahun 1870 berisi:
1)    pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta
2)    pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun

UU Agraria ini mempunyai tujuan yaitu:
1)    memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing (Eropa) untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia
2)    melindungi hak atas tanah penduduk agar tidak hilang (dijual)

c. Politik  Etis
Politik  ini dikenal dengan politik etis atau politik  balas budi karena Belanda dianggap mempunyai hutang budi kepada rakyat Indonesia yang dianggap telah membantu meningkatkan kemakmuran negeri Belanda. Politik etis yang diusulkan van Deventer ada tiga hal, sehingga sering disebut Trilogi van Deventer.

Berikut ini Isi Trilogi van Deventer.
1)    Irigasi (pengairan), yaitu diusahakan pembangunan irigasi untuk mengairi sawah-sawah milik  penduduk untuk membantu peningkatan kesejahteraan penduduk.
2)    Edukasi (pendidikan), yaitu penyelenggaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi agar mampu menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang lebih baik.
3)    Migrasi (perpindahan penduduk), yaitu perpindahan penduduk dari daerah yang padat penduduknya (khususnya Pulau Jawa) ke daerah lain yang jarang penduduknya agar lebih merata.

Kekuasaan Kolonial Pemerintahan Inggris di Indonesia


Sejak tahun 1811, Indonesia berada di bawah kekuasaan Inggris. Gubernur Jenderal Lord Minto  memercayakan kepada Thomas Stamford Raflles sebagai kepala pemerintahan Inggris di Indonesia. Raflles memulai tugasnya pada tanggal 19 Oktober 1811 yang berkedudukan  di Jakarta


Kebijakan Pemerintah Kolonial Inggris di Indonesia

Peristiwa Belanda menyerah kepada Inggris melalui Kapitulasi Tuntang (1811), menjadi awal pendudukan kolonial Inggris di Indonesia. Thomas Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Gubernur EIC di Indonesia. Ia memegang pemerintahan selama lima tahun (1811-1816) dengan membawa perubahan berasas liberal.

Pendudukan Inggris atas wilayah  Indonesia tidak  berbeda dengan penjajahan bangsa Eropa lainnya.  Raffles banyak mengadakan perubahan-perubahan, baik di bidang ekonomi maupun pemerintahan. Raffles bermaksud menerapkan politik  kolonial seperti yang dijalankan oleh Inggris di India. Kebijakan Daendels yang dikenal dengan nama Contingenten diganti dengan sistem sewa tanah (Landrent).

Sistem sewa tanah disebut juga sistem pajak tanah. Rakyat atau para petani harus membayar pajak sebagai uang sewa, karena semua tanah dianggap milik  negara. Berikut ini  pokok-pokok  sistem Landrent.
a.    Penyerahan wajib dan wajib kerja dihapuskan.
b.    Hasil pertanian dipungut  langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati.
c.    Rakyat harus menyewa tanah dan membayar pajak kepada pemerintah sebagai pemilik  tanah.

Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan. Kesejahteraan hendak dicapainya dengan memberikan kebebasan dan jaminan hukum  kepada rakyat sehingga tidak menjadi korban kesewenang-wenangan para penguasa.

Dalam pelaksanaannya, sistem Landrent di Indonesia mengalami kegagalan, karena:
a.    sulit menentukan besar kecilnya pajak untuk  pemilik  tanah yang luasnya berbeda
b.    sulit menentukan luas sempit dan tingkat kesuburan tanah
c.    terbatasnya jumlah pegawai
d.    masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan sistem uang

Tindakan yang dilakukan  oleh Raffles berikutnya  adalah membagi wilayah  Jawa menjadi 16 daerah karesidenan. Hal ini mengandung maksud untuk mempermudah pemerintah melakukan pengawasan terhadap daerah-daerah yang dikuasai.  Setiap karesidenan dikepalai oleh seorang residen dan dibantu oleh asisten residen.

Di samping itu Thomas Stamford Raffles juga memberi sumbangan positif bagi Indonesia yaitu:
a.    membentuk susunan baru dalam pengadilan yang didasarkan pengadilan Inggris
b.    menulis buku yang berjudul History of Java
c.    menemukan bunga Rafflesia-arnoldii
d.    merintis adanya Kebun Raya Bogor

Perubahan politik yang terjadi di Eropa mengakhiri pemerintahan Raffles di Indonesia. Pada tahun 1814, Napoleon Bonaparte akhirnya menyerah kepada Inggris. Belanda lepas dari kendali Prancis. Hubungan antara Belanda dan Inggris sebenarnya akur, dan mereka mengadakan pertemuan di London, Inggris.

Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan yang tertuang dalam Convention of London 1814. Isinya Belanda memperoleh kembali daerah jajahannya yang dulu direbut Inggris. Status Indonesia dikembalikan  sebagaimana dulu sebelum perang, yaitu di bawah kekuasaan Belanda.

Penyerahan wilayah  Hindia  Belanda dari Inggris kepada Belanda berlangsung di Batavia pada tanggal 19 Agustus 1816. Inggris diwakili oleh John Fendall dan Belanda diwakili oleh Mr. Ellout, van der Capellen, dan Buyskes.

Kekuasaan Kolonial Pemerintah Kerajaan Belanda di Bawah Kendali Prancis

Pada akhir abad ke -18 VOC mengalami kemerosotan. Hal ini diakibatkan oleh:
1.    persaingan perdagangan dengan kongsi-kongsi lain dari bangsa Inggris dan Prancis,
2.    penduduk  Indonesia, terutama di Jawa telah menjadi miskin sehingga tidak mampu membeli barang-barang VOC,
3.    perdagangan gelap merajalela, dan menerobos monopoli perdagangan VOC,
4.    pegawai-pegawai VOC banyak yang korupsi,
5.    banyak biaya perang yang dikeluarkan  untuk  mengatasi perlawanan penduduk, dan
6.    kerugian yang cukup  besar dan utang yang berjumlah banyak.

Akhirnya  pada tanggal 31 Desember  1799 VOC dibubarkan dengan  hutang 134,7 juta gulden. Hak dan kewajibannya diambil alih oleh pemerintah Republik Bataafsche di bawah kendali Prancis.

Pada tahun 1808, Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal untuk  wilayah  Indonesia. Tugas utamanya adalah untuk  mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.

Selanjutnya, Daendels diganti oleh Janssen namun ia lemah. Akibatnya tidak mampu menghadapi Inggris. Melalui Kapitulasi Tuntang Janssens menyerah kepada Inggris. Indonesia menjadi jajahan Inggris.


Kebijakan Pemerintah Kerajaan Belanda (Republik Bataafsche)

Kebijakan pemerintah Kerajaan Belanda yang dikendalikan oleh Prancis sangat kentara pada masa Gubernur Jenderal Daendels (1808 – 1811). Kebijakan yang diambil  Daendels sangat berkaitan dengan tugas utamanya yaitu untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serangan pasukan Inggris.

Dalam upaya mempertahankan Pulau Jawa, Daendels melakukan hal-hal berikut.
a.    Membangun ketentaraan, pendirian  tangsi-tangsi/ benteng, pabrik mesiu/senjata di Semarang dan Surabaya serta rumah sakit tentara.
b.    Membuat jalan pos dari Anyer sampai Panarukan dengan panjang sekitar 1.000 km.
c.    Membangun pelabuhan di Anyer dan Ujung Kulon untuk kepentingan perang.
d.    Memberlakukan  kerja rodi  atau kerja paksa untuk membangun pangkalan tentara.

Berikut ini kebijakan-kebijakan yang diberlakukan  Daendels terhadap kehidupan  rakyat.
a.    Semua pegawai pemerintah menerima gaji tetap dan mereka dilarang melakukan kegiatan perdagangan
b.    Melarang penyewaan desa, kecuali untuk mem- produksi  gula, garam, dan sarang burung.
c.    Melaksanakan contingenten yaitu pajak dengan penyerahan hasil bumi.
d.    Menetapkan verplichte leverantie, kewajiban menjual hasil bumi hanya kepada pemerintah dengan harga yang telah ditetapkan.
e.    Menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan membangun ketentaraan dengan melatih orang- orang pribumi.
f.     Membangun jalan pos dari Anyer sampai Panarukan sebagai dasar pertimbangan pertahanan.
g.    Membangun pelabuhan-pelabuhan dan membuat kapal perang berukuran kecil.
h.    Melakukan penjualan tanah rakyat kepada pihak swasta (asing).
i.     Mewajibkan Prianger  stelsel, yaitu kewajiban rakyat Priangan untuk menanam kopi.

Dalam melaksanakan pemerintahannya di Indonesia, Daendels memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, hak-hak bupati mulai dibatasi terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga rakyat.

Selama memerintah, Daendels dikenal sebagai gubernur jenderal yang kejam. Ia memerintah dengan menerapkan disiplin tinggi,  keras, dan kejam. Hal ini dapat dibuktikan saat Daendels menjalankan kerja rodi untuk  membangun jalan raya Anyer - Panarukan sepanjang 1000 km. Dalam pembangunan tersebut, rakyat dipaksa kerja keras tanpa diberi  upah atau makanan, dan apabila rakyat ketahuan melarikan diri akan ditangkap dan disiksa.

Langkah-langkah kebijakan Daendels yang memeras dan menindas rakyat menimbulkan:
a.    kebencian yang mendalam baik dari kalangan penguasa daerah maupun rakyat,
b.    munculnya tanah-tanah partikelir yang dikelola oleh pengusaha swasta,
c.    pertentangan/perlawanan  penguasa maupun rakyat,
d .   kemiskinan dan penderitaan yang berkepanjangan, serta
e.    pencopotan Daendels.

Pada tahun 1810, Kaisar Napoleon menganggap bahwa tindakan Daendels sangat otoriter. Pada tahun 1811 Daendels ia ditarik  kembali ke negeri Belanda dan digantikan  oleh Gubernur Jenderal Janssens.

Ternyata Janssens tidak secakap dan sekuat Daendels dalam melaksanakan tugasnya. Ketika Inggris menyerang Pulau Jawa, ia menyerah dan harus menandatangani perjanjian di Tuntang pada tanggal 17 September 1811.

Perjanjian tersebut dikenal dengan nama KapitulasiTuntang, yang berisi sebagai berikut.
a.    Seluruh militer  Belanda yang berada di wilayah  Asia Timur  harus diserahkan kepada Inggris dan menjadi tawanan militer  Inggris.
b.    Hutang pemerintah Belanda tidak diakui  oleh Inggris.
c.    Pulau Jawa dan Madura serta semua pelabuhan Belanda di luar Jawa menjadi daerah kekuasaan Inggris (EIC)

Sumber :               Buku IPS untuk SMP/MTs Kelas VIII
Penulis  :               Sanusi Fattah Amin Hidayat Juli Waskito, Moh. Taukit Setyawan

Kekuasaan Kolonial VOC di Indonesia

Pada tahun 1596 Cornelis de Houtman tiba di Banten. Pada tahun1598, penjelajahan  Belanda di bawah pimpinan Jacob van Neck tiba di Maluku. Mereka diterima  dengan baik oleh penguasa Banten, juga pendaratan di sepanjang pantai Utara Jawa dan Maluku. Sejak itu, hubungan dagang dengan para pedagang Belanda semakin ramai.

Untuk  mengatasi persaingan sesama pedagang Belanda tanggal 20 Maret 1602 didirikan Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). suatu kongsi dagang berupa persekutuan dagang India Timur atas prakarsa Johan van Oldenbarnevelt.

Tujuan pembentukan VOC sebenarnya tidak hanya untuk  menghindari  persaingan di antara pedagang Belanda, tetapi juga:
1. menyaingi kongsi dagang Inggris di India, yaitu EIC (East India Company),
2. menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan kerajaan-kerajaan, serta
3. melaksanakan  monopoli    perdagangan rempah-rempah.

Di Indonesia, VOC berusaha menerapkan aturan baru yaitu Verplichte Leverantie atau penyerahan wajib hasil bumi menurut harga yang telah ditentukan.

Hasil bumi yang wajib diserahkan yaitu lada, kayu manis, beras, ternak, nila, gula, dan kapas. Selain itu, VOC juga menerapkan Prianger stelsel, yaitu aturan yang mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi.

Dari aturan-aturan tersebut, VOC meneguk keuntungan yang sangat besar. Namun tidak bertahan lama karena mulai akhir abad ke-18 keuangan VOC terus mengalami kemerosotan.


Kebijakan VOC
VOC menggunakan lembaga dan aturan-aturan yang telah ada di dalam masyarakat lokal untuk menjalankan roda compagnienya. VOC hanya menjalin hubungan dengan golongan raja atau bangsawan. VOC beranggapan tidak ada gunanya bekerja sama dengan rakyat karena jika rajanya sudah tunduk,  maka rakyatnya akan tunduk pula.

VOC menerapkan sejumlah kebijakan seperti hak monopoli,  penyerahan wajib, penanaman wajib, dan tenaga kerja wajib (gotongroyong) yang sebenarnya telah menjadi bagian dari struktur  dan kultur  yang telah ada sebelumnya. 

Penyerahan wajib (Verplichte Leverantie) mewajibkan rakyat Indonesia di tiap-tiap daerah untuk menyerahkan hasil bumi berupa lada, kayu, beras, kapas, kapas, nila, dan gula kepada VOC.

Kehadiran VOC mendapat sambutan baik dari pemerintah Kerajaan Belanda, guna memperkuat pedagang Belanda agar dapat bersaing dengan perusahaan dagang Portugis dan Inggris. 

Bahkan pemerintah Kerajaan Belanda, memberi  hak istimewa kepada VOC yang dikenal dengan nama hak oktroi, seperti:
a. hak monopoli,
b. hak untuk membuat uang,
c. hak untuk mendirikan benteng,
d. hak untuk melaksanakan perjanjian dengan kerajaan di Indonesia, dan
f. hak untuk membentuk tentara.

Untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, VOC berusaha menguasai pelabuhan-pelabuhan penting dan membangun benteng-benteng seperti:
a. di Banten disebut benteng Kota Intan (Fort Speelwijk),
b. di Ambon disebut benteng Victoria,
c. di Makassar disebut benteng Rotterdam,
d. di Ternate disebut benteng Orange, dan
e. di Banda disebut benteng Nasao.

VOCmemanfaatkan konflik diantara keluarga kerajaan dengan mengadu domba. Satu persatu kerajaan-kerajaan di Indonesia dikuasai VOC.

Pada masa pemerintahan Jan Pieterzoon Coen terjadi pertentangan antara Inggris dan Belanda (VOC) untuk memperebutkan pusat perdagangan di Jayakarta. Pertentangan tersebut dimenangkan oleh Belanda (VOC) setelah mendapat bantuan dari Pangeran Arya Ranamenggala dari  Banten. Inggris  diusir  dari Jayakarta dan Pangeran Jayakarta diberhentikan sebagai penguasa Jayakarta.

Pada tanggal 12 Maret 1619, VOC mendirikan  benteng yang diberi  nama Batavia. Kantor dagang VOC yang ada di Ambon, Maluku  dipindahkan ke Batavia setelah Jayakarta menyerah kepada Belanda pada tanggal 30 Mei 1619. Pada tanggal yang
sama  J.P. Coen  mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.

Untuk mempertahankan monopoli rempah-rempah di Kepulauan Maluku, VOC melakukan dan pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Pelayaran Hongi  yaitu  pelayaran keliling menggunakan perahu jenis kora-kora yang dipersenjatai untuk mengatasi perdagangan gelap atau penyelundupan rempah-rempah di Maluku

Pelayaran ini  juga disertai hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.

Pada tahun 1700-an, VOC berusaha menguasai kerajaan Banten dan Mataram. Alasannya daerah ini banyak menghasilkan barang-barang komoditas seperti beras, gula merah, jenis-jenis kacang, dan lada

Kebijan-Kebijakan VOC yang diterpakan di Indonesia.
a.    Menguasai pelabuhan-pelabuhan dan mendirikan  benteng untuk  melaksanakan monopoli  perdagangan.
b.    Melaksanakan politik  devide et impera (memecah dan menguasai) dalam rangka untuk menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia.
c.    Untuk memperkuat kedudukannya, perlu mengangkat seorang Gubernur Jenderal.
d.    Melaksanakan sepenuhnya hak Oktroi yang diberikan pemerintah Belanda.
e.    Membangun pangkalan/markas VOC yang semula di Banten dan Ambon, dipindah  ke Jayakarta (Batavia).
f.     Melaksanakan pelayaran Hongi  (Hongi tochten).
g.    Adanya hak ekstirpasi, yaitu hak untuk membinasakan tanaman rempah-rempah yang melebihi ketentuan.
h.    Adanya verplichte leverantie (penyerahan wajib) dan  Prianger stelsel (sistem Priangan).


Pengaruh kebijakan VOC bagi rakyat Indonesia.
a.    Kekuasaan raja menjadi berkurang atau bahkan didominasi  secara keseluruhan oleh VOC.
b.    Wilayah kerajaan terpecah-belah dengan melahirkan kerajaan dan penguasa baru di bawah kendali VOC.
c.    Hak oktroi (istimewa) VOC, membuat masyarakat Indonesia menjadi miskin,  dan menderita.
d.    Rakyat Indonesia mengenal ekonomi uang, mengenal sistem pertahanan benteng, etika perjanjian, dan prajurit  bersenjata modern (senjata api, meriam).
e.    Pelayaran Hongi, dapat dikatakan sebagai suatu perampasan, perampokan, perbudakan, dan pembunuhan.
f.     Hak ekstirpasi bagi rakyat merupakan ancaman matinya suatu harapan atau sumber penghasilan yang bisa berlebih.

Sumber         :     Sejarah Indonesia Modern 1200 2004, 2005
Sumber        :     Buku IPS untuk SMP/MTs Kelas VIII
Penulis        :     Sanusi Fattah Amin Hidayat Juli Waskito, Moh. Taukit Setyawan

SahabatQ

Like Facebokk Friends

ProfilQ

VERDA CANTIKA.PSH

Masih Sekolah di SMPN 1 ploso Jombang dr keluarga 3 bersaudara :adik Rindu masih kelas 4 SDN Kedungrejo dn adik Livi masih kecil umur 2,5 th kami keluarga bahagia yg saling menyayangi dn mengasihi sekian Trimksh Lihat Lengkap ProfilQ