KEBANGKITAN PEMUDA ISLAM SUATU KEMAJUAN HARUS
DIBIMBING BUKAN DILAWAN (4/6)
Pertama, harus memelihara hak orang tua dan sanak kerabat. Tidak diperbolehkan menghadapi ayah, ibu, dan saudara dengan cara yang kasar. Seseorang tidak boleh memarahi mereka dengan tuduhan durhaka, bid'ah, atau menyeleweng dari agama. Mereka, khususnya kedua orang tua, mempunyai hak untuk diperlakukan secara lemah lembut. Allah SWT berfirman,
Bila kita menyimak dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan ayahnya yang dilukiskan dalam Al-Qur'an, kita akan mengetahui bagaimana etika seorang anak dalam berdakwah kepada orang tua, meskipun mereka musyrik. Maka apalagi jika orang tuanya seorang muslim yang banyak melanggar ketentuan syar'i, karena selain mempunyai hak sebagai orang tua, juga memiliki hak sebagai seorang muslim.
Kedua, memperhatikan tingkat umur. Tidak seyogianya seorang da'i mengabaikan faktor perbedaan umur mad'u (penerima dakwah) dengan alasan bahwa Islam mengajarkan persamaan. Ia tidak boleh menyamakan gaya pembicaraan terhadap dua kelompok penerima dakwah yang berbeda. Misalnya, antara orang tua dan pemuda. Menyamakan penerima dakwah merupakan tindakan keliru, karena persamaan (egaliterianisme) yang diajarkan Islam adalah dalam masalah kehormatan manusia dan hak-hak asasi universal. Egaliterianisme ini tidak sampai menghalangi hak-hak tertentu yang harus dijaga seperti hak-hak sanak kerabat, rumah tangga, dan kepemimpinan.
Salah satu ajaran etika Islam adalah yang kecil menghormati yang besar dan yang besar mengasihi yang kecil. Rasulullah saw. bersabda,
Apa yang penulis utarakan ini bukanlah berasal dari penulis sendiri, melainkan telah dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni ketika Hatib bin Abi Balta'ah tergelincir ke arah pengkhianatan. Dia telanjur menginformasikan kepada musyrikin Quraisy mengenai persiapan dan kekuatan personil pasukan Islam di bawah komando Nabi saw. yang akan memasuki Mekah kembali, padahal Rasulullah saw. berusaha keras untuk bergerak secara rahasia. Reaksi Umar ibnul Khattab r.a. amat keras terhadap pembocoran informasi tersebut. Ia berkata, "Ya Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, sebab dia benar-benar munafik." Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.? Pribadi agung ini bersabda, "Apakah kalian tidak menyadari, semoga Allah memperlihatkan kelebihan peserta perang Badar" dan Dia berfirman, "Lakukan apa saja yang kamu kehendaki, dan aku telah memaafkanmu."
Rasulullah saw. memaklumi dan memaafkan kesalahan-kesalahan para pendahulu yang telah berjasa pada Islam, seperti yang dijelaskan dalam pembahasan ini.
Islam memberikan penilaian secara khusus terhadap setiap amal sesuai dengan dampak yang dilahirkan oleh amal tersebut terhadap jiwa manusia dan kehidupan, baik amal yang kita ketahui maupun yang tidak. Sebaliknya, Islam juga memberikan tingkatan (ranking) terhadap hal-hal yang membahayakan sesuai dengan kadar bahaya dan pengaruhnya secara material maupun imaterial.
Pertama, hal-hal yang dianjurkan (mustahab) yaitu amal yang bila dilakukan akan disenangi Allah, namun tidak berdosa bila ditinggalkan.
Kedua, hal-hal yang benar-benar disunnahkan (mu'akkad) yaitu amal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. dan hampir tidak pernah ditinggalkannya, namun beliau tidak menuntut sahabat mengamalkannya secara ketat. Di antara para sahabat ada yang meninggalkannya pada suatu waktu sehingga orang tidak mengklasifikasikannya sebagai amal wajib. Misalnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah tidak menyembelih hewan kurban.
Ketiga, hal-hal yang diwajibkan menurut sebagian mazhab, yaitu amal yang diperintahkan Allah SWT, tetapi perintah tersebut tidak sampai pada tingkat qath'i (pasti; yang hanya menerima satu interpretasi, --peny.).
Keempat, hal-hal yang difardhukan (fardhu) yaitu amal yang kewajiban pelaksanaannya ditetapkan dengan qath'i dan tidak ada kesamaran di dalamnya. Bila amal itu dilakukan, Allah SWT menetapkan pahala bagi pelakunya, dan bila ditinggalkan, Allah akan menyiksanya. Orang yang meninggalkannya menjadi fasiq dan yang mengingkarinya menjadi kajur.
Sebagaimana diketahui fardhu ada dua macam, yakni fardhu kifayah dan fardhu 'ain. Fardhu kifayah adalah fardhu yang bila telah dilakukan sebagian umat Islam, maka terbebaslah umat Islam seluruhnya dari dosa. Sedangkan fardhu 'ain adalah amal yang difardhukan kepada setiap orang Islam.
Fardhu 'ain mempunyai tingkatan yaitu fardhu yang merupakan lima rukun dasar yang dikenal sebagai Rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu) dan fardhu selain dari rukun tersebut yang telah dipastikan dari awalnya. Jenis fardhu yang disebut terakhir ini tetap difardhukan secara tegas dalam Islam.
Islam mendahulukan fardhu 'ain dari fardhu kifayah. Oleh karenanya, dalam Islam, menghormati orang tua lebih didahulukan daripada jihad selama yang disebut terakhir ini dipandang sebagai fardhu kifayah (telah ada sebagian umat Islam yang melakukannya, --pent.). Dengan demikian, seorang anak tidak diperkenankan berjihad pada saat itu tanpa izin kedua orang tua sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi saw.
Fardhu 'ain yang berkaitan dengan masyarakat lebih didahulukan daripada yang berkaitan dengan hak individu. Misalnya dalam masalah jihad dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika keadaan telah berkembang sedemikian rupa sehingga hukum jihad menjadi fardhu 'ain bagi suatu komunitas muslim --misalnya bila para agresor kafir telah menginvasi wilayah Islam, maka jihad didahulukan daripada hak orang tua untuk ditaati dan diperlakukan dengan baik.
Fardhu didahulukan daripada wajib, wajib daripada sunnah, dan sunnah muakkad daripada mustahabbah. Islam juga memprioritaskan kekerabatan sosial daripada kekerabatan individual. Ini karena Islam mengutamakan amal yang manfaatnya turut dirasakan orang lain ketimbang yang terbatas pada sang pelaku saja.
Sehingga dapat dimengerti bila Islam mengutamakan jihad daripada ibadah individual, berilmu dan berpemahaman mendalam terhadap agama daripada beribadah, dan faqih daripada 'abid (ahli ibadah), serta memperbaiki amal yang bermanfaat besar daripada ibadah sunnah seperti shalat, puasa, dan sedekah.
Islam juga mengutamakan perbuatan imam yang adil terhadap rakyat daripada ibadah-ibadah sunnah yang dilakukannya.
Pada kajian ini penulis perlu mengemukakan kekeliruan yang dilakukan umat Islam pada masa kemundurannya untuk dijadikan pelajaran bagi kita, yakni sebagai berikut.
1. Makruh tanzihiyah, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati halal.
2. Makruh tahriman, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati haram.
3. Musytabihat, yaitu sesuatu yang tidak diketahui (hukumnya) oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa tergelincir ke dalam perkara-perkara musytabihat ini maka telah tergelincir ke dalam hal yang haram. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan (ternaknya) dipinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya.
4. Haram, yaitu yang jelas (keharamannya) dan telah diterangkan dengan jelas oleh Allah dalam kitab-Nya dan dalam sunnah Rasul-Nya.
Firman Allah swt:
Pertama, berupa dosa-dosa kecil. Kedua, berupa dosa-dosa besar.
Dosa-dosa kecil dapat dihapuskan oleh shalat, puasa dan sedekah. (Sesungguhnya amal-amal yang baik itu dapat menghapuskan keburukan). Dan dalam sebuah hadits shahih disebutkan: "Shalat lima waktu, dan dari Jum'at ke Jum'at, dari Ramadhan ke Ramadhan, dapat menghapuskan (dosa-dosa) yang ada di antaranya, apabila dosa-dosa besar dijauhi."
Adapun dosa-dosa besar tidak akan hilang dan terhapus kecuali dengan taubat yang lahir dari dalam lubuk hati yang dalam, diikuti dengan penyesalan, dan dibasuh dengan deraian air mata.
Dosa-dosa besar ada tingkatannya. Diantaranya adalah yang dikatakan Rasulullah saw sebagai "sebesar-besar dosa besar" yaitu syirik pada Allah. Dosa ini tidak akan diampuni selama-lamanya kecuali dengan taubat. Allah berfirman:
Diantaranya kesalahan dan kerancuan yang terjadi pada kebanyakan manusia adalah:
1. Kebanyakan manusia lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh atau hal-hal yang syubhat daripada memerangi hal-hal yang haram yang telah mewabah. Sebagaimana mereka sibuk memerangi apa yang masih diperselisihkan antara kehalalannya atau keharamannya daripada (memerangi) hal-hal yang jelas diharamkan.
2. Banyaknya orang berpaling untuk meluruskan dosa-dosa kecil sementara dosa-dosa besar lagi membahayakan hidup manusia mereka lalaikan, tidak begitu diperhatikan. Seperti paranormal, sihir, dukun atau tukang tenung, menjadikan kubur sebagai masjid, nazar dan berkorban untuk orang mati, minta pertolongan pada orang mati dan dosa-dosa lain yang sejenis yang dapat mengotori kesucian akidah tauhid.
Baca Lanjutannya>>>
Etika Dakwah dan Dialog
Pada pembahasan ini, penulis akan memfokuskan pembicaraan pada beberapa inti etika berdakwah dan berdialog.Pertama, harus memelihara hak orang tua dan sanak kerabat. Tidak diperbolehkan menghadapi ayah, ibu, dan saudara dengan cara yang kasar. Seseorang tidak boleh memarahi mereka dengan tuduhan durhaka, bid'ah, atau menyeleweng dari agama. Mereka, khususnya kedua orang tua, mempunyai hak untuk diperlakukan secara lemah lembut. Allah SWT berfirman,
"Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergauilah kedua-nya di dunia dengan baik." (Luqman: 15)Tidak ada dosa yang lebih besar daripada syirik, kecuali berupaya keras mengubah seorang mukmin menjadi musyrik. Meskipun hal tersebut diupayakan oleh kedua orang tua (terhadap anaknya), Allah SWT melarang sang anak menaati mereka dalam hal ini, namun Dia memerintahkan agar si anak tetap mempergauli orang tua dengan baik.
Bila kita menyimak dialog Nabi Ibrahim a.s. dengan ayahnya yang dilukiskan dalam Al-Qur'an, kita akan mengetahui bagaimana etika seorang anak dalam berdakwah kepada orang tua, meskipun mereka musyrik. Maka apalagi jika orang tuanya seorang muslim yang banyak melanggar ketentuan syar'i, karena selain mempunyai hak sebagai orang tua, juga memiliki hak sebagai seorang muslim.
Kedua, memperhatikan tingkat umur. Tidak seyogianya seorang da'i mengabaikan faktor perbedaan umur mad'u (penerima dakwah) dengan alasan bahwa Islam mengajarkan persamaan. Ia tidak boleh menyamakan gaya pembicaraan terhadap dua kelompok penerima dakwah yang berbeda. Misalnya, antara orang tua dan pemuda. Menyamakan penerima dakwah merupakan tindakan keliru, karena persamaan (egaliterianisme) yang diajarkan Islam adalah dalam masalah kehormatan manusia dan hak-hak asasi universal. Egaliterianisme ini tidak sampai menghalangi hak-hak tertentu yang harus dijaga seperti hak-hak sanak kerabat, rumah tangga, dan kepemimpinan.
Salah satu ajaran etika Islam adalah yang kecil menghormati yang besar dan yang besar mengasihi yang kecil. Rasulullah saw. bersabda,
"Tidak termasuk golonganku orang yang tidak menyayangi anak-anak, tidak menghormati orang tua, dan tidak mengenali orang yang berilmu." (HR Ahmad)Terlepas dari takwil orang terhadap hadits tersebut, bahaya apa yang lebih besar daripada terlempar dari golongan Rasulullah saw.? Hadits ini diriwayatkan oleh Ahama dari Ubadah bin Shamit, isnadnya hasan dengan lafaz 'Laisa min ummatii', juga diriwayatkan oleh Thabrani dan Hakim. Hadist lain menjelaskan,
"Di antara penghormatan kepada Allah adalah memuliakan seorang muslim yang telah lanjut usia." Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Musa dengan isnad hasan sebagaimana diterangkan dalam Taisiirul Manawi I:347.Ketiga, memelihara hak orang-orang terdahulu. Kita tidak boleh mengingkari orang-orang terdahulu yang banyak berjasa dalam berdakwah dan menebar ilmu ke seluruh lapisan umat Islam. Tak sepantasnya kita melupakan jasa-jasa mereka dan mencelanya setelah karya-karya mereka mulai kehilangan relevansinya dengan era kontemporer, atau karena sang tokoh tampak mulai lemah meskipun sangat kuat semasa jaya.
Apa yang penulis utarakan ini bukanlah berasal dari penulis sendiri, melainkan telah dinyatakan oleh Rasulullah saw., yakni ketika Hatib bin Abi Balta'ah tergelincir ke arah pengkhianatan. Dia telanjur menginformasikan kepada musyrikin Quraisy mengenai persiapan dan kekuatan personil pasukan Islam di bawah komando Nabi saw. yang akan memasuki Mekah kembali, padahal Rasulullah saw. berusaha keras untuk bergerak secara rahasia. Reaksi Umar ibnul Khattab r.a. amat keras terhadap pembocoran informasi tersebut. Ia berkata, "Ya Rasulullah, biarkan aku memenggal lehernya, sebab dia benar-benar munafik." Akan tetapi, apa jawaban Rasulullah saw.? Pribadi agung ini bersabda, "Apakah kalian tidak menyadari, semoga Allah memperlihatkan kelebihan peserta perang Badar" dan Dia berfirman, "Lakukan apa saja yang kamu kehendaki, dan aku telah memaafkanmu."
Rasulullah saw. memaklumi dan memaafkan kesalahan-kesalahan para pendahulu yang telah berjasa pada Islam, seperti yang dijelaskan dalam pembahasan ini.
5. Mengetahui Nilai Amal Hukum dan Susunannya
Penulis berpesan kepada para generasi muda aktivis agar mulai berkonsentrasi pada satu bidang kbusus yang penting dari berbagai aspek pemahaman dalam Islam (tafaqquh fid-diin) yang mungkin mereka tidak memperhatikannya betapapun dalamnya gairah belajar mereka. Dengan demikian, kebaikan yang dijanjikan Allah dalam hadits berikut akan dicurahkan kepada mereka,"Barangsiapa yang Allah menghendaki baginya kebaikan, maka Dia akan menganugerahkan kepadanya pemahaman mengenai agama." (HR Bukhari)Bidang penting ini adalah bidang yang mempunyai kaitan dengan pengetahuan tentang nilai-nilai amal, hukum-hukum syar'i, dan pemeliharaan terhadap hukum-hukum itu pada proporsinya sesuai dengan tingkatan perintah dan larangan tanpa memilah-milah berbagai masalah yang hukumnya serupa dan menyamakan masalah-masalah yang hukumnya memang berbeda.
Islam memberikan penilaian secara khusus terhadap setiap amal sesuai dengan dampak yang dilahirkan oleh amal tersebut terhadap jiwa manusia dan kehidupan, baik amal yang kita ketahui maupun yang tidak. Sebaliknya, Islam juga memberikan tingkatan (ranking) terhadap hal-hal yang membahayakan sesuai dengan kadar bahaya dan pengaruhnya secara material maupun imaterial.
Tingkatan Hal-hal yang Diperintahkan
Tingkatan hal-hal yang diperintahkan dalam Islam adalah sebagai berikut.Pertama, hal-hal yang dianjurkan (mustahab) yaitu amal yang bila dilakukan akan disenangi Allah, namun tidak berdosa bila ditinggalkan.
Kedua, hal-hal yang benar-benar disunnahkan (mu'akkad) yaitu amal yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. dan hampir tidak pernah ditinggalkannya, namun beliau tidak menuntut sahabat mengamalkannya secara ketat. Di antara para sahabat ada yang meninggalkannya pada suatu waktu sehingga orang tidak mengklasifikasikannya sebagai amal wajib. Misalnya, Abu Bakar dan Umar bin Khattab pernah tidak menyembelih hewan kurban.
Ketiga, hal-hal yang diwajibkan menurut sebagian mazhab, yaitu amal yang diperintahkan Allah SWT, tetapi perintah tersebut tidak sampai pada tingkat qath'i (pasti; yang hanya menerima satu interpretasi, --peny.).
Keempat, hal-hal yang difardhukan (fardhu) yaitu amal yang kewajiban pelaksanaannya ditetapkan dengan qath'i dan tidak ada kesamaran di dalamnya. Bila amal itu dilakukan, Allah SWT menetapkan pahala bagi pelakunya, dan bila ditinggalkan, Allah akan menyiksanya. Orang yang meninggalkannya menjadi fasiq dan yang mengingkarinya menjadi kajur.
Sebagaimana diketahui fardhu ada dua macam, yakni fardhu kifayah dan fardhu 'ain. Fardhu kifayah adalah fardhu yang bila telah dilakukan sebagian umat Islam, maka terbebaslah umat Islam seluruhnya dari dosa. Sedangkan fardhu 'ain adalah amal yang difardhukan kepada setiap orang Islam.
Fardhu 'ain mempunyai tingkatan yaitu fardhu yang merupakan lima rukun dasar yang dikenal sebagai Rukun Islam (syahadat, shalat, zakat, puasa Ramadhan, dan haji bagi yang mampu) dan fardhu selain dari rukun tersebut yang telah dipastikan dari awalnya. Jenis fardhu yang disebut terakhir ini tetap difardhukan secara tegas dalam Islam.
Islam mendahulukan fardhu 'ain dari fardhu kifayah. Oleh karenanya, dalam Islam, menghormati orang tua lebih didahulukan daripada jihad selama yang disebut terakhir ini dipandang sebagai fardhu kifayah (telah ada sebagian umat Islam yang melakukannya, --pent.). Dengan demikian, seorang anak tidak diperkenankan berjihad pada saat itu tanpa izin kedua orang tua sebagaimana telah dijelaskan oleh hadits-hadits Nabi saw.
Fardhu 'ain yang berkaitan dengan masyarakat lebih didahulukan daripada yang berkaitan dengan hak individu. Misalnya dalam masalah jihad dan berbuat baik kepada kedua orang tua. Jika keadaan telah berkembang sedemikian rupa sehingga hukum jihad menjadi fardhu 'ain bagi suatu komunitas muslim --misalnya bila para agresor kafir telah menginvasi wilayah Islam, maka jihad didahulukan daripada hak orang tua untuk ditaati dan diperlakukan dengan baik.
Fardhu didahulukan daripada wajib, wajib daripada sunnah, dan sunnah muakkad daripada mustahabbah. Islam juga memprioritaskan kekerabatan sosial daripada kekerabatan individual. Ini karena Islam mengutamakan amal yang manfaatnya turut dirasakan orang lain ketimbang yang terbatas pada sang pelaku saja.
Sehingga dapat dimengerti bila Islam mengutamakan jihad daripada ibadah individual, berilmu dan berpemahaman mendalam terhadap agama daripada beribadah, dan faqih daripada 'abid (ahli ibadah), serta memperbaiki amal yang bermanfaat besar daripada ibadah sunnah seperti shalat, puasa, dan sedekah.
Islam juga mengutamakan perbuatan imam yang adil terhadap rakyat daripada ibadah-ibadah sunnah yang dilakukannya.
"Sehari dari imam yang adil lebih utama daripada ibadah enam puluh tahun." (al-Hadits)Islam memprioritaskan perbuatan-perbuatan hati daripada perbuatan-perbuatan anggota yang zahir. Islam mendahulukan akidah daripada amal, dan menganggap akidah sebagai asas dan motor penggerak.
Pada kajian ini penulis perlu mengemukakan kekeliruan yang dilakukan umat Islam pada masa kemundurannya untuk dijadikan pelajaran bagi kita, yakni sebagai berikut.
1. Meremehkan --dalam batas maksimal-- fardhu-fardhu kifayah yang berkaitan dengan umat Islam. Misalnya: melalaikan penguasaan sains dan teknologi, perindustrian, perang, ijtihad fikih, produk hukum, penyebaran dakwah Islam, dan memerangi bid'ah serta kezaliman.
2. Meremehkan sebagian fardhu-fardhu 'ain atau melaksanakannya tanpa disertai dengan nilai-nilainya. Misalnya dalam hal amar ma'ruf nahi mungkar.
3. Lebih memperhatikan sebagian rukun daripada rukun yang lain. Misalnya lebih memperhatikan puasa daripada shalat. Kita melihat, hampir tidak ada seorang muslim yang makan atau minum di siang bulan Ramadhan. Akan tetapi, tak sedikit di antara para shaimin itu yang bermalas-malasan mengerjakan shalat. Ada pula yang lebih menekankan shalat daripada zakat padahal Allah SWT sering menggandengkan keduanya (sekitar 28 kali) dalam redaksi ayat-ayat Al-Qur'an. Sampai-sampai sebagian sahabat berkata,
"Barangsiapa yang tidak mengeluarkan zakat, maka tak ada shalat baginya."Bahkan Abu Bakar Shiddiq menegaskan,
"Demi Allah, aku akan memerangi orang yang memisahkan shalat dan zakat."4. Lebih memperhatikan sebagian ibadah sunnah daripada yang difardhukan dan diwajibkan. Misalnya yang dilakukan kelompok-kelompok tasawuf mutaakhirin yang memperbanyak zikir, tasbih, dan wirid, tetapi tidak menekankan perhatiannya pada kewajiban-kewajiban sosial, seperti menyingkirkan kejahatan dan melawan kezaliman sosial-politik.
5. Lebih memperhatikan ibadah-ibadah individual --seperti shalat, puasa, dan zikir-- daripada memperhatikan ibadah-ibadah sosial yang bermanfaat bagi orang banyak, seperti jihad, ber-tafaqquhfid-diin, dan melaksanakan pembangunan.
6. Mayoritas umat Islam menitikberatkan perhatian pada cabang-cabang masalah (furu') dan melupakan pokok-pokok (ushul) yaitu akidah, iman, dan tauhid, serta keikhlasan beragama karena Allah SWT semata.
Tingkatan Larangan-larangan
Segala sesuatu yang dilarang oleh Islam juga punya tingkatan dan derajat. Diantaranya:1. Makruh tanzihiyah, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati halal.
2. Makruh tahriman, yaitu sesuatu yang makruh dan kemakruhannya mendekati haram.
3. Musytabihat, yaitu sesuatu yang tidak diketahui (hukumnya) oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa tergelincir ke dalam perkara-perkara musytabihat ini maka telah tergelincir ke dalam hal yang haram. Sebagaimana penggembala yang menggembalakan (ternaknya) dipinggir jurang, dikhawatirkan dia terjatuh ke dalamnya.
4. Haram, yaitu yang jelas (keharamannya) dan telah diterangkan dengan jelas oleh Allah dalam kitab-Nya dan dalam sunnah Rasul-Nya.
Firman Allah swt:
"Dan (Dia) telah menjelaskan bagi kamu sekalian apa-apa yang diharamkan atas diri kalian." (QS Al-An'am 119)Adapun yang haram ada 2 macam:
Pertama, berupa dosa-dosa kecil. Kedua, berupa dosa-dosa besar.
Dosa-dosa kecil dapat dihapuskan oleh shalat, puasa dan sedekah. (Sesungguhnya amal-amal yang baik itu dapat menghapuskan keburukan). Dan dalam sebuah hadits shahih disebutkan: "Shalat lima waktu, dan dari Jum'at ke Jum'at, dari Ramadhan ke Ramadhan, dapat menghapuskan (dosa-dosa) yang ada di antaranya, apabila dosa-dosa besar dijauhi."
Adapun dosa-dosa besar tidak akan hilang dan terhapus kecuali dengan taubat yang lahir dari dalam lubuk hati yang dalam, diikuti dengan penyesalan, dan dibasuh dengan deraian air mata.
Dosa-dosa besar ada tingkatannya. Diantaranya adalah yang dikatakan Rasulullah saw sebagai "sebesar-besar dosa besar" yaitu syirik pada Allah. Dosa ini tidak akan diampuni selama-lamanya kecuali dengan taubat. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) orang yang mempersekutukan-Nya dan akan mengampuni (dosa) selain yang demikian itu bagi siapa saja yang dikehendakinya." (QS An-Nisa: 116)Setelah itu derajat selanjutnya dari dosa besar adalah dosa-dosa lain yang telah disebutkan dalam hadits Rasulullah saw yaitu: durhaka, kepada kedua orang tua, kesaksian palsu, sihir, membunuh, makan riba dan makan harta anak yatim.
Diantaranya kesalahan dan kerancuan yang terjadi pada kebanyakan manusia adalah:
1. Kebanyakan manusia lebih sibuk memerangi hal-hal yang makruh atau hal-hal yang syubhat daripada memerangi hal-hal yang haram yang telah mewabah. Sebagaimana mereka sibuk memerangi apa yang masih diperselisihkan antara kehalalannya atau keharamannya daripada (memerangi) hal-hal yang jelas diharamkan.
2. Banyaknya orang berpaling untuk meluruskan dosa-dosa kecil sementara dosa-dosa besar lagi membahayakan hidup manusia mereka lalaikan, tidak begitu diperhatikan. Seperti paranormal, sihir, dukun atau tukang tenung, menjadikan kubur sebagai masjid, nazar dan berkorban untuk orang mati, minta pertolongan pada orang mati dan dosa-dosa lain yang sejenis yang dapat mengotori kesucian akidah tauhid.
Baca Lanjutannya>>>