Jika kebangkitan menyandarkan sebagian usahanya pada landasan doktrin agama dengan ijtihad baru, maka warisan fikih Islam yang demikian melimpah membutuhkan pemecahan ijtihadiyah bagi berbagai problema negara-negara Arab.
Secara umum dapat dikatakan bahwa fikih politik lahir pada era belakangan, sedangkan fikih-fikih lainnya telah berkembang pesat jauh sebelumnya. Barangkali citra negatif fikih politik disebabkan oleh tragedi politik yang terpisah dari etika keislaman dan aturan-aturan syara' sehingga para fuqaha dan penguasa saling menjaga jarak. Demikianlah, keimanan telah melemah dalam aspek politik, sedangkan ambisi kekuasaan, gejolak fanatisme, dan konflik kekuatan makin memuncak. Bila aktivitas kesyariahan dilakukan secara tertutup, maka ilmu pengetahuan pun menjadi tertutup. Ini mengakibatkan pakar politik tidak lagi memperhatikan hukum Islam dan kredibilitas para fuqaha dalam merumuskan permasalahan politik dan solusinya.
Seluruh dimensi fikih mengalami stagnasi ketika muncul fenomena berdirinya bermacam-macam negara di kawasan Islam. Sedangkan fikih tetap saja --sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab tentang hukum kerajaan-- berkutat dengan persoalan integrasi kepemimpinan negara, kecuali sebagian fuqaha yang berusaha memahami kemajemukan para pemimpin dan otentisitasnya berdasarkan keniscayaan berjauhannya kota-kota. Para fuqaha juga telah mengabaikan pemisahan yang terkadang terjadi antara sistem imamah dan imarah (kerajaan), padahal pemisahan tersebut berwatak agak sekular. Mereka pun mengabaikan berdirinya wilayah-wilayah yang mandiri secara de facto.
Al-Qur'an dan As-Sunnah mengemukakan masalah loyalitas dan tolong-menolong dalam ruang lingkup kenegaraan, sedangkan fikih mengedepankan problema-problema lokal berdasarkan pluralisme mazhab dan kaidah 'ijma dan mempersoalkan distribusi zakat dan hukum-hukum semacam itu. Para fuqaha merasa cukup dengan menjelajahi berbagai corak fikih yang berkembang antara yang khusus dan yang umum seiring dengan dominasi wilayah Islam yang belum mengenal batasan-batasan geografis. Mungkin cacat pensyariahan kekuasaan merupakan penyebab para fuqaha mengabaikan realitas tersebut secara sengaja, sebagaimana mereka mengabaikan peran pemerintah dalam dasar-dasar hukum dan Al-Qur'an.
Kebangkitan kontemporer pada dasarnya mulai menggeluti masalah tersebut, tetapi belum optimal, meskipun persoalan umum dan khusus telah mencuat dalam kehidupan bernegara, bahkan dalam kenyataan langsung pada lingkungan politik tempat berkembangnya kebangkitan.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kebangkitan pertama di Dunia Arab dipelopori oleh para ulama, namun mereka belum banyak menyentuh pemikiran politik negara untuk memecahkan problema negara-negara Arab yang diwarisi dari Barat.
Penyebab lainnya adalah bahwa kebangkitan Islam belum menyaksikan dinamika persoalan ini dalam sejarah Arab kontemporer. Masalah ini belum begitu tampak pada masa pemisahan diri dari kekhalifahan Utsmani dan belum mengkristal pada masa setelah merdeka dari imperialisme. Akan tetapi, kebangkitan Islam kemudian sempat menyaksikannya ketika terjadi kebangkitan nasional, eksperimen negara-negara Barat, dan upaya yang dilakukan negara-negara Arab untuk meresponnya dengan program-program integrasi dan ide-ide nasionalisme.
Pemikiran kebangkitan Islam secara umum telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi perjuangan nasional dan kemerdekaan, sebab pemikiran tersebut berkonsentrasi pada masalah-masalah dan konsep-konsep keterbelakangan. Sementara dalam persoalan negara-negara Arab yang berakhir dengan perjuangan itu, penulis tidak mengetahui pemecahan-pemecahan yang dapat dicatat kecuali pernyataan-pernyataan umum Syekh Hassan al-Banna dalam mendefinisikan nasionalisme yang diartikannya sebagai realisasi loyalitas negara-negara Arab untuk mengembangkan kecintaan, kasih sayang, kebanggaan, dan kesetiaan tanpa merusak kepatuhan terhadap agama (ar-Rasaail ats-Tsalats).
Sayangnya, ketika seruan nasionalisme memuncak di Dunia Arab dan maraknya ajakan kepada isme ini yang melampaui kawasan Arab bahkan mengatasi Arabisme, kebangkitan Islam menghadapinya dengan menggalang solidaritas yang membahayakan loyalitas kebangsaan tinimbang mengajukan alternatif teoretis yang sebanding. Maka pengajuan alternatif-alternatif sebagaimana penulis katakan, merupakan periode yang belum dicapai kebangkitan Islam.
Ketika kebangkitan Islam telah mencapai periode tersebut dan mengalami kedewasaan, situasi politik tangan besi muncul memberangus kebebasan yang merupakan syarat bagi perkembangan, kehidupan, dan pertumbuhan bagi setiap pemikiran. Intimidasi turut menyibukkan keberadaan kebangkitan Islam dan menghalang-halanginya mengadakan dialog internal dan eksternal yang perlu dilakukan untuk mengembangkan ijtihad.
Pemikiran kebangkitan Islam harus membentangkan sayap untuk melawan, mendorong, serta memegangi dan berkomitmen pada dasar-dasar dinullah dalam menghadapi sistem nasionalisme bermuatan islami (sintesis antara nasionalisme dan Islam, --peny.) Oleh karena itu, berkembanglah pemikiran Sayyid Quthub dalam karyanya Fii Zilaalil-Qur'an dan Al-Ma'aalim fii ath-Thaariq yang mengecam penyembahan terhadap negara dan fanatisme nasional. Pemikir al-Ikhwan al-Muslimun ini mengabstraksikan konsep-konsep al-Hakimiyah dan tauhid di atas ungkapan-ungkapan, batasan, kemaslahatan, dan realitas, serta mengarahkan hukum-hukum kepada dimensi-dimensinya yang absolut.
Sekadar perbandingan, penulis mencoba meneliti kelompok-kelompok kebangkitan Islam di India yang secara tajam dihadapkan pada nasionalisme India yang mengkhawatirkan karena sangat membahayakan kaum muslimin sehingga mereka harus berpisah secara kultural dan geografis.
Abul A'la al-Maududi telah memberikan pemecahan terhadap masalah ini, yaitu dalam bentuk pemisahan negara. Pemikir produktif ini mengajukan model Barat dan tuntutan realitas (nasionalisme dan Islam), sebagaimana ia memecahkan problema negara kawasan setelah berdirinya Pakistan dan hubungannya dengan imigran muslim dan negara-negara Dunia Islam.
Kita dapat pula melihat perkembangan situasi yang diakibatkan oleh pemikiran kebangkitan setelah diserukannya ajakan umum untuk mengadakan program-program yang nyata di wilayah-wilayah yang lebih banyak memberikan kebebasan. Gerakan Islam di Tunisia dan Sudan merupakan contoh pemecahan problema-problema regional dan internasional, dengan mempertimbangkan Barat yang telah demikian menghegemonik di seluruh kawasan Arab dan tuntutan-tuntutan politik yang sedang dihadapi.
2. Diskursus Kebangkitan Islam: Untuk Persatuan Nasional dan Kawasan Negara (Tanah Air)
Ketika Arab bereaksi terhadap kekuasaan kekhalifahan Utsmani, Dunia Islam menyaksikan pemisahan sejarah antara kebangkitan masa lalu dan sekarang. Kebangkitan masa lalu merupakan reaksi langsung terhadap imperialisme dalam bentuk jihad yang menggelora di seluruh belahan Dunia Islam. Misalnya, gerakan Mahdiyah di Sudan dan jihad Islam di Afrika Barat, Timur, dan Utara. Gerakan Mahdiyah merupakan salah satu reaksi terhadap imperialisme yang menjadi rival kekhalifahan Utsmani. Gerakan ini mengatasnamakan Islam internasional, bukan hanya Sudan dan Arab saja .
Selain itu, kebangkitan Islam klasik mempunyai dimensi pemikiran pula sebagaimana ditampilkan oleh Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya, serta syekh-syekh di Syria. Pemikiran mereka mempropagandakan reformasi hubungan umat Islam, mengadakan komunikasi antar negara Dunia Islam, dan berusaha mengintegrasikan negara-negara Islam.
Syria dan negara-negara sekitarnya terlibat konflik dengan kekhalifahan Utsmani, lalu memisahkan diri dan menegakkan nasionalisme sendiri. Sejak itu nasionalisme mereka mengandung benih-benih pemikiran untuk memisahkan diri dari ikatan keislaman. Pemikiran nasionalisme mangalami polarisasi menuju model aliran dan pola politik Barat. Karenanya, kita tidak menemui adanya revolusi Arab terhadap kekhalifahan Utsmani, termasuk dari kalangan para pelopor nasionalisme, kecuali hanya "tes negatif" terhadap pemikiran kebangkitan Islam.
Kemudian berkembanglah pemikiran nasionalisme dalam dua versi karena perbedaan perumusan kesatuan nasional dan faktor-faktor lain dalam bidang pemikiran dan politik.
Versi pertama mengambil sikap kekiri-kirian. Mereka berjuang melawan zionisme dan imperialisme. Kelompok ini giat bergerak untuk mencapai integrasi yang tidak mampu direalisasikan oleh para pelopor solidaritas nasional. Sedangkan versi kedua adalah kekuatan politik yang membuat slogan-slogan sebagai simbol kekuatan politik yang defensif.
Masing-masing versi mengandung unsur sekularisme dan para pendukungnya membangun rivalitas dengan gerakan kebangkitan Islam. Karena gerakan kebangkitan Islam menekankan pemikiran dan politik, maka mereka menyerang sikap dan pemikiran kedua versi nasionalisme itu serta mempersoalkan dasar-dasar propaganda nasionalisme dan mempertanyakan tujuan-tujuannya. Para pelopor nasionalisme terlibat perdebatan dengan para pemikir-pejuang Islam hingga memenuhi halaman-halaman media dan publikasi sastra.
Seandainya tidak karena terbukanya pemikiran nasionalisme, pengaruh program-program persatuan nasional, dan kebesaran kebangkitan Islam, maka keadaan ini akan berhenti pada munculnya tesis-tesis nasionalisme, ide-ide dan kebijakan politik yang mengokohkan etnis, dan Islam sebagai faktor pendorong dan pengarah nasionalisme. Pada skala makro, pemikiran kebangkitan Islam tidak memberikan respon terhadap pengakomodasian tersebut. Pada umumnya, akomodasi semacam itu tidak akan berkembang, baik secara teoretis maupun politis (lihat kasus di Libya).
Di negara-negara Arab-Afrika pada umumnya, perdebatan antara Islam, nasionalisme, dan Arabisme tidak menyentuh aspek kebangsaan, tetapi terjadi perdebatan mengenai konsep-konsep kenegaraan versi Eropa. Para pendukung nasionalisme ingin merumuskan teori nasionalisme kawasan dan melestarikan kebangsaan. Mereka mengutarakan pandangan untuk meregionalkan bahasa dan dialek, mengadakan penulisan sejarah yang menanamkan kebanggaan terhadap tokoh-tokoh nasional, serta menegaskan semangat nasionalisme dan peran nasional yang khusus dalam misi internasional. Kelompok-kelompok ini muncul di Mesir. Mereka mengagungkan sejarah Fir'aun dan Eropa. Fenomena sejenis juga terlihat di Sudan dan negara-negara Afrika Utara.
Kelompok kebangkitan Islam memberikan reaksi keras terhadap fanatisme nasional ketika mereka menemukan unsur-unsur sekularisme dan afiliasi terhadap nilai-nilai Barat di dalamnya. Fanatisme semacam itu adalah fanatisme yang terputus dari umat Islam. Berbagai literatur kebangkitan Islam mengkritik nasionalisme Mesir yang kering analisisnya dalam menilai Eropa dan Islam serta pemikiran tokoh-tokoh seperti Luthfi Sayid, Thaha Husain, dan Salamah Musa.
3. Posisi Kebangkitan Politik dan Program Integrasi
Meskipun kebangkitan Islam memercayai slogan-slogan integrasi, namun belum melontarkan ide dan mendukung program pengintegrasian. Ini karena kebangkitan Islam masih sangat muda usianya dan baru berupa prinsip-prinsip dasar, sehingga belum menjejakkan kaki pada tataran aksi. Di samping itu, kebebasan dan ruang geraknya, terutama di bidang politik, masih dibatasi. Walaupun demikian, gerakan kebangkitan Islam harus menegaskan sikap politik dalam bentuk program-program integrasi atau kemerdekaan kawasan dengan posisinya sebagai kekuatan politik di lapangan.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kebangkitan Islam masih berseberangan dengan mayoritas program integrasi sehingga belum bersedia memberikan dukungan positif. Sikap ini disebabkan para aktivis Islam melihat hakikat integrasi sebagai ancaman yang akan menutup pintu kebebasan bagi gerakan kebangkitan.
Itulah sebabnya, gerakan kebangkitan Islam menentang program integrasi lembah sungai Nil, karena melalui program ini, pemerintah Mesir berusaha menekan gerakan Islam dari Mesir hingga Sudan.
Walaupun gerakan Islam di Sudan merupakan hasil ekspansi dari Mesir (melalui organisasi al-Ikhwan al-Muslimun, --peny.) dan perkembangan keadaan di Sudan sendiri, namun mereka berkeinginan membebaskan diri dari Mesir dan Inggris serta condong kepada para pelopor kemerdekaan Sudan.
Gerakan Islam di Suriah merasa perlu menyambut hangat integrasi Suriah-Mesir dalam Persatuan Arab Republik. Penulis mengetahui bahwa mereka tidak melakukannya dengan sepenuh hati. Semua orang mengetahui bahwa sebenarnya gerakan Islam lebih menyukai pemisahan dari ikatan republik tersebut, karena dengan demikian negara-negara anggotanya dapat lebih bebas. Secara diam-diam, gerakan Islam di Yaman juga memusuhi upaya integrasi Yaman dengan pertimbangan kemaslahatan agama dan kebebasan. Kita tidak pernah mendengar bahwa gerakan kebangkitan Islam mendukung program-program kepemimpinan Libya yang terintegrasi begitu populer.
Demikianlah, pemerintahan kesatuan absolut menjadi kendala terbesar-bagi program integrasi. Pihak-pihak yang menikmati kekuasaan merasa tidak senang, kecuali diikutkan dalam perserikatan yang menguntungkan mereka. Di lain sisi gerakan Islam tidak menginginkan intervensi kekuasaan yang korup, tangan besi dan berwatak kiri (sosialis). Kepemimpinan sekular tidak menginginkan bentuk integrasi yang menyulitkan mereka dengan adanya nilai-nilai tradisional dan faktor-faktor yang dianggap menghambat laju pertumbuhan ekonomi.Baca Lanjutannya>>>